Di usia yang telah melintasi setengah abad, ketika hari-hari kerap terasa sunyi di antara riuh dunia, Allah mengirimkan dua cahaya lelaki muda ke dalam hidupku. Usia mereka terpaut lebih dari sepuluh tahun dariku—jarak yang seharusnya membuat kami asing. Tapi di mata mereka, aku bukan sekadar “bapak tua” atau “guru”, melainkan sahabat sepanjang nongkrong di ruang kerja atau cafe, tempat kami tertawa membahas mimpi-mimpi yang belum usai. 

Mereka memanggilku dengan sebutan yang lucu: "Ustadz. Penyematan gelar yang sudah kehilangan pesona dan martabatnya itu kubalas dengan “mengganggu” kantor mereka—ruang kecil berisi laptop dan whiteboard penuh coretan bisnis. Aku datang bukan untuk memberi nasihat, tapi untuk duduk di sudut, menikmati semangat mereka yang masih membara seperti api unggun di tengah hujan. Perusahaan rintisan itu masih goyah, terombang-ambing tantangan dan angka-angka yang kerap tak bersahabat. Tapi di antara debat tentang strategi pemasaran dan laporan keuangan, mereka tetap riang—seperti dua anak kecil yang bermain perang-perangan, yakin benteng kardis mereka tak akan runtuh. 

“Kantor” mereka telah menjadi pelabuhan bagiku. Di sana, aku bukan lagi lelaki yang kerap dianggap “tua tak berguna”, melainkan pendengar setia, saksi bisu kegigihan dua jiwa yang berani menantang gelombang. Kadang, saat mereka sibuk menelepon klien atau menghitung modal, mataku tak sengaja berkaca-kaca: Inikah rasanya dikaruniai anak-anak muda yang memilih menghormati bukan karena kewajiban, tapi karena ketulusan?

Mereka tak hanya membangun bisnis. Di balik spreadsheet dan proposal, ada tekad untuk menciptakan lapangan kerja bagi teman-teman sekomunitas—orang-orang beriman yang kerap diusir dari pekerjaan hanya keyakinannya yang disesatkan atau karena menolak menunduk pada korupsi. “Ini bukan sekadar perusahaan, Pak. Ini balas dendam kami pada sistem yang menghina keyakinan,” kata salah satunya suatu sore, sambil tersenyum getir. 

Kini, doaku setiap malam lebih panjang dari biasanya:  "Ya Allah, berkatilah usaha mereka. Jadikan tangan-tangan kecil ini jembatan bagi yang terpinggirkan. Buka pintu rezeki mereka seluas langit-Mu, agar setiap rupiah yang mereka hasilkan menjadi air yang menghidupi tanah-tandus keadilan.”

Aku tahu, jalan mereka masih terjal juga berliku-liku. Tapi dalam keramahan mereka yang memaksaku menerima kopi gratis, dalam tawa mereka yang tak pernah peduli usia, kau melihat benih-benih mukjizat. Mereka mengingatkanku pada ayat:  "Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan.”(QS. Al-Māidah [5]: 2). 

Bahkan sebagai “Ustadz blue Jeans”, aku kini punya peran baru: menjadi saksi bahwa kebaikan tak pernah mati—ia hanya perlu ditemukan dalam bentuk yang tak terduga. Di sudut hati, aku yakin: inilah keluarga yang Allah simpan untukku di babak akhir hidup—keluarga yang tak terikat darah, tapi oleh iman, cita-cita, dan secangkir kopi yang selalu mereka seduhkan dengan tangan penuh hormat. 

Semoga Allah menaungi langkah mereka dengan rahmat-Nya. Menjadikan usaha kecil ini mercusuar bagi yang tersesat, dan mencatat setiap keringat mereka sebagai amal yang tak putus mengalir, hingga kelak di surga—tempat di mana tak ada lagi diskriminasi, hanya tawa yang menyatu dengan gemericik sungai kebaikan.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML