Di istana yang megah, Al-Mansur duduk di singgasananya, wajahnya keruh oleh kebencian. "Ja'far bin Muhammad telah menghujatku," geramnya pada Al-Fadhl bin Al-Rabi’, mata berapi. "Demi Tuhan, aku akan membunuhnya!"
Di sudut lain Madinah, Imam al-Shadiq (as) sedang duduk di ruang sederhananya, tangannya menuliskan ilmu yang mengalir seperti sungai hikmah. Tak ada tanda takut di wajahnya, meski kabar ancaman maut sudah sampai ke telinganya.
Ketika utusan Al-Mansur datang, Imam bangkit dengan tenang. Ia bersuci, mengenakan jubah putih bersih, lalu berjalan menuju istana bagai pahlawan yang tahu takdirnya. Al-Mansur, yang sebelumnya mengancam akan mencabik nyawanya, tiba-tiba berubah sikap. "Selamat datang, wahai orang saleh yang bersih dari tipu daya!" sambutnya palsu, mempersilakan Imam duduk di tempat terhormat.
Tapi Imam tak tertipu. Bibirnya berbisik doa: "Ya Tuhan, lindungilah aku dengan mata-Mu yang tak pernah tidur..."
Al-Fadhl, yang menyaksikan adegan ini, gemetar. "Wahai Putra Rasulullah," bisiknya lirih, "aku yakin dia akan membunuhmu. Apa yang kau ucapkan tadi?"
Imam tersenyum lembut: "Doa perlindungan untukmu dan untukku."
Al-Mansur telah mencoba segalanya: pengasingan, intimidasi, bahkan sihir. Tapi cahaya Imam tak pernah redup. Malam itu, sang tiran menyuruh pelayannya menyuguhkan anggur beracun. "Ini hadiah untukmu," ujarnya licik. Imam menerima gelas itu, tahu isi sebenarnya. Saat racun membakar ususnya, wajahnya tetap tenang. "Ini jalan menuju-Nya," gumamnya, sambil menatap langit.
Di kamar yang dipenuhi tangis, Imam memeluk putranya: "Persiapkan jasadku dengan kain ihram ini... Jaga umat... Mereka akan mengejarmu, tapi ketahuilah: cahaya ini takkan padam."
Kepada istri dan sahabat yang berkerumun, ia berpesan: "Syafaat kami takkan menyentuh mereka yang meremehkan shalat."
Saat racun merenggut napas terakhirnya, Madinah gempar. Ratusan orang berhamburan ke rumah Imam, wajah mereka basah oleh air mata. Imam Musa al-Kadhim (as) memandikan jasad ayahnya dengan tangan gemetar. Kain kafan dari ihram kakeknya, Imam Zainal Abidin (as), membungkus tubuh yang suci itu.
Keesokan harinya, para penggali kubur masih terpana. Debu di tangan mereka terasa lebih berharga dari emas - karena telah menyentuh jasad suci cucu Rasulullah (saw).
Imam Ja'far dimakamkan di Baqi', berdampingan dengan para Imam suci sebelumnya. Di sanalah beliau beristirahat - sang pembawa obor ilmu, sang pejuang keadilan, sang penjaga kemurnian ajaran kakeknya, Rasulullah (saw).
Hari ini, makamnya mungkin telah dihancurkan, namun cahaya petunjuknya tetap bersinar. Setiap kali seorang pencari kebenaran membuka kitab-kitab hadisnya, setiap kali seorang yang haus ilmu mempelajari ajaran-ajarannya, di situlah Imam Ja'far ash-Shadiq (as) tetap hidup.
"Semoga salam sejahtera selalu tercurah untukmu, wahai putra Rasulullah. Di hari engkau dilahirkan, di hari engkau wafat, dan di hari engkau dibangkitkan."