Di era kecerdasan buatan yang kian merajalela, batas antara realitas dan representasi semakin kabur. Kemampuan AI untuk menghasilkan citra, suara, dan narasi yang nyaris sempurna telah melahirkan sebuah fenomena mengkhawatirkan: obsesi untuk memburu profil ideal, bahkan jika profil tersebut adalah kepalsuan yang terampil.
Fenomena "memburu profil" ini, yang dimensinya dipercepat dan diperluas oleh AI, bukanlah hal baru. Sejak lama, manusia memiliki kecenderungan membangun dan menampilkan citra diri ideal, baik dalam interaksi langsung maupun melalui berbagai medium. Namun, sentuhan algoritma kini memungkinkan kreasi profil digital nyaris tanpa cela, dari foto yang disempurnakan hingga narasi diri yang dipoles, bahkan interaksi artifisial yang dipersonalisasi. Kita disuguhkan galeri "kesempurnaan" digital, memicu partisipasi dalam perlombaan membangun profil menarik dan ideal di mata dunia maya.
Keranjingan menampilkan diri dengan citra palsu berteknologi AI dalam penampilan, status, dan kemampuan menjadi manifestasi ekstrem dari "memburu profil." Di balik citra-citra palsu yang berkilauan, sering tersembunyi perasaan tidak aman mendalam, penolakan halus terhadap diri yang "biasa-biasa saja," dan keyakinan bahwa diri autentik takkan cukup diterima. AI hadir sebagai alat transformatif, memungkinkan individu mengatasi kekurangan yang dirasakan dengan menciptakan versi diri ideal—representasi bebas noda, keterbatasan, dan kelemahan manusiawi.
Dalam ekosistem media sosial yang haus validasi, citra palsu sempurna seringkali menuai banjir pujian dan pengakuan, menjadi bahan bakar adiksi validasi eksternal, di mana harga diri bergantung pada respons audiens daring. Semakin banyak pujian untuk persona palsu, semakin sulit kembali pada diri sebenarnya yang mungkin dianggap kurang "menarik."
Namun, di balik gemerlap profil digital, sering tersembunyi kekosongan. Terbiasa berinteraksi dengan representasi diri yang tersaring dan tersunting, kita kehilangan kemampuan menghargai keaslian, memburu bayangan ideal alih-alih substansi nyata.
Bahaya obsesi "memburu profil" melampaui potensi penipuan dan disinformasi, mengancam mengikis nilai kemanusiaan mendasar. Terlalu fokus pada citra luar mengabaikan kualitas internal seperti empati, kejujuran, dan kerentanan—fondasi hubungan bermakna.
Erosi identitas sejati mengintai saat terlalu lama bermain peran mengaburkan batas diri autentik dan persona buatan, berpotensi menghilangkan kontak dengan nilai, preferensi, dan emosi sejati. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan pun melebar, membuat kehidupan nyata terasa mengecewakan dibanding dunia maya palsu, memicu frustrasi, kecemasan, bahkan depresi. Lebih jauh, interaksi di atas fondasi kepalsuan sulit berkembang menjadi hubungan mendalam dan bermakna.
Ironisnya, AI sebagai fasilitator kepalsuan juga menyimpan potensi penyadaran. Semakin tipis batas nyata dan palsu, semakin kita dipaksa kritis menilai informasi dan membangun koneksi, mengembangkan kemampuan melihat di balik layar, mencari jejak keaslian di tengah lautan simulasi. Refleksi tentang "memburu profil" di era AI mengajak kita mempertanyakan kembali definisi sukses dan bahagia. Apakah kita mencari koneksi autentik, atau sekadar validasi dari profil-profil ilusi? Apakah kita menghargai keunikan dan ketidaksempurnaan, atau terjebak standar ideal mustahil?
Pada akhirnya, tantangan era AI bukan sekadar membedakan nyata dan palsu, tetapi juga berani menolak kepalsuan itu sendiri. Kita perlu mengalihkan fokus dari "memburu profil" sempurna ke pencarian jiwa autentik—pada diri sendiri maupun orang lain. Di tengah gempuran citra digital memukau, keberanian menjadi diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan mungkin menjadi satu-satunya cara menemukan koneksi bermakna di dunia yang kian dipenuhi kepalsuan cerdas.
Fenomena keranjingan citra palsu berteknologi AI mencerminkan tekanan dan ekspektasi masyarakat digital, tarian berbahaya antara keinginan diterima dan ketakutan menunjukkan diri sebenarnya, potret buram identitas di era digital yang perlu dipahami lebih mendalam.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML