Tadi saat duduk di cafe bersama teman yang berkonsutasi saya menemukan fenomena yang belakangan terulang. Seorang gadis berseragam karyawati mencium tangan beberapa pria muda yang terlihat sebagai atasan sambil mencandainya.
Pola interaksi ini hampir umum menjadi semacam tradisi baru dalam lingkungan koorporasi dan birokrasi di kantor, pabrik, toko, mall, cafe dan lainnya laki maupun perempuan mencium tangan setiap orang yang berada di level yang lebih tinggu saat masuk kerja dan saat berpamit pulang dari kerja. Kita mungkin penah melihat presiden, gubernur, bupati hingga ketua RT mulai biasa menjulurkan tangan saat bertemu dengan warga.
Praktik mencium tangan atasan atau pejabat sebagai bentuk penghormatan dalam sebagian masyarakat Arab, tapi biasanya hanya berlaku dalam lingkungan pendidikan agama tradisional atau dalam keluarga relijius. Di Iran tradisi cium tangan hanya dilakukan oleh muqallid atau awam kepada marja' atau ulama terkemuka dan sepuh. Beberapa ulama yang diundang sebagai penceramah di Indonesia kaget ketika jamaah berebut mencium tangan mereka karena di negara asalnya tangan mereka tak pernah dicium.
Mencium tangan orang yang lebih tua sesama laki atau dianggap sepuh atau tokoh agama adalah simbol penghormatan (misalnya, _sungkem_ dalam budaya Jawa). Namun, ketika dibawa ke ranah profesional, apalagi sesama non mahram berlainan jenis praktik ini bisa mengaburkan batas mahram yang ditetapkan dalam agama Islam dan kesopanan yang merupakan produk konsensus atau konstruksi sosial.
Kontak fisik berulang—meski dimaksudkan sebagai simbolis—dapat melanggar kenyamanan personal, jika berlainan jenis kelamin dan non mahram.
Ritual cium tangan dalam lingkungan kerja berpotensi menimbulkan senasi seksual yang bisa mengakibatkan hubungan ilegal yang diharamkan oleh dan dilarang oleh peraturan negara.
Selain itu, ritual cium tangan atasan bisa memperkuat kesenjangan kekuasaan, di mana atasan diposisikan secara tidak setara dengan bawahan. Hal ini dapat menciptakan dinamika "penguasa-yang-dipuja" yang tidak sehat, terutama jika disertai ekspektasi kepatuhan mutlak.
Karyawan mungkin merasa terpaksa melakukan hal tersebut demi menghindari stigma "tidak sopan" atau konsekuensi negatif (misalnya, dianggap tidak loyal). Ini berpotensi menjadi bentuk _coercive respect
Lingkungan kerja idealnya menekankan penghargaan berdasarkan kinerja, bukan ritual simbolis. Praktik seperti ini berisiko mengalihkan fokus dari kompetensi ke kepatuhan pada formalitas.
Budaya kerja yang sehat seharusnya memastikan semua pihak merasa setara dan dihargai tanpa harus melakukan gestur fisik yang mungkin tidak sesuai dengan nilai personal mereka.
Mengganti ritual tersebut dengan salam verbal sambil mengajukan kedua tangan ke atas menghadap (misalnya, "Selamat pagi, Pak/Bu") atau anggukan kepala yang sopan tetap menunjukkan penghormatan tanpa hierarki berlebihan. Inilah kesopanan yang selaras dengan agama, profesionalisme dan asas kesetaraan.
Jika praktik ini benar-benar ingin dipertahankan, perlu ada kesepakatan bersama (bukan paksaan) dan pemahaman bahwa gestur tersebut murni simbolik, bukan alat pengukuran loyalitas atau kinerja. Perusahaan bisa memimpin perubahan dengan mencontohkan penghormatan timbal balik (misalnya, atasan juga mengapresiasi bawahan secara setara). Presiden dan penerima mandat rakyat lainnya bukanlah raja pemegang kuasa absolut yang perlu diperlakukan sebagai mitra rakyat. Karena itu, dalam Sidang Umum MPR, presiden dipanggil "Saudara", bukan "Bapak" oleh Ketua Sidang.
Meski berangkat dari niat baik, budaya mencium tangan atasan berisiko mempertahankan mentalitas feodal yang tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan di dunia kerja. Transformasi ke arah penghormatan yang lebih substansial—melalui komunikasi respek dua arah dan pengakuan atas kontribusi—akan menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Perubahan ini membutuhkan kepemimpinan yang visioner dan keberanian untuk menantang _status quo_.