Saat Sang Pembawa Cahaya semesta, Muhammad SAW, wafat, getarannya tak hanya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga menggoncang sendi-sendi peradaban Islam yang baru lahir. 

Di tengah kesedihan yang menyelimuti Madinah, perdebatan suksesi meletup—membuka luka kolektif yang terus menganga dalam ingatan umat. Pada momen perpisahan abadi itu, benih manipulasi sejarah mulai disemai. 

Bani Umayyah, yang dahulu memusuhi Nabi, perlahan merangkul tampuk kekhalifahan. Muawiyah bin Abu Sufyan menyadari bahwa memori wafat Nabi adalah api yang bisa membakar kekuasaan palsu.

Mengigat wafat Nabi akan melesatkan memori ke sebuah tempat antara Mekah dan Madinah, Ghadir Khum. Di situlah, Nabi berhenti di bawah terik matahari untuk menyampaikan pidato yang mengguncang sejarah: “Barang siapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.” Namun, ketika Nabi wafat tak lama kemudian, getaran duka di Madinah tidak hanya menyisakan luka, tetapi juga membuka celah bagi manipulasi sejarah.

Pidato Ghadir Khum, yang menegaskan kepemimpinan Ali dan Ahlulbait, menjadi memori berbahaya bagi gerombolan pemburu kuasa. Tragedi Karbala yang merupakan karya pasukan kekhalifahan, menjadi bukti betapa berbahayanya ingatan itu dibiarkan hidup. 

Maka, dirancanglah strategi halus mengubur kenangan: 
- Pemindahan Pusat Ingatan: Madinah, kota suci yang menyimpan napas terakhir Nabi, ditinggalkan. Damaskus yang baru dipilih—tempat tanpa jejak sejarah hijrah dan perintisan peradaban Islam serta jauh dari pengaruh spiritual dan sosial Ahlulbait dipilih sebagai pusat kendali rezim sebagai upaya amnesia-isasi sistemik.
- Kalender sebagai Simbol: Tahun Hijriah tak lagi merujuk pada kelahiran atau wafat Nabi, melainkan peristiwa Hijrah—simbol kelemahan yang dpaksakan sebagai simbol kemenangan yang mudah diadaptasi penguasa. Duka wafat Nabi pun tersamar di balik narasi gemilang migrasi. 
- Monumen Pengalih Hati: Kubah Batu (Qubbat as-Sakhrah) di Yerusalem dibangun megah oleh Abdul Malik. Ia bukan hanya keajaiban arsitektur, melainkan magnet untuk mengalihkan umat dari ziarah makam Nabi. Ini tak berbeda dengan menyelenggarakan konser penyanyi semi bugil demi mengalihkan perhatian umat dari simpati untuk Gaza.

Ketika menggulingkan imperium Umayyah dengan janji membela Ahlul Bait, rezim Abbasiyah justru menyempurnakan seni manipulasi ini, karena ingatan tentang peristiwa wafat Nabi dan peristiwa ironi setelahnya adalah ancaman bagi otoritas ilegal. Maka, melalui tangan ulama istana: 
- Sejarah yang Dikebiri: Karya-karya seperti Tarikh al-Tabari mengurai panjang perang dan penaklukan, tetapi mengaburkan detil wafat Nabi dan konflik di sekitarnya. Pena penguasa menulis ulang narasi. 
- Suara yang Diredam: Tradisi memperingati wafat Nabi oleh komunitas Syiah—ekspresi cinta yang tulus—dikerdilkan sebagai bid’ah. Ijma’ versi istana menjadi hukum tunggal. 
- Teologi yang Dibelokkan: Doktrin anti-ghuluw (pengkultusan) digunakan bukan demi menjaga tauhid (karena penguasa korup tak peduli agama), tapi untuk meredam gelora cinta pada Nabi yang bisa menjadi pembuka akses kepada keluarganya. Maka diproduksilah opini berlabel sabda yang menentang fitrah tentang pelarangan berduka atas kematian orang terdekat. 

Lalu, tiba-tiba hari lahir dan wafatnya "bertemu" pada tanggal yang sama. Peringatan Maulid yang riuh menjadi selubung bagi duka yang tak boleh diungkap. Tangis pilu di hari perpisahan agung ditelan gegap gempita rebana—seperti penguasa yang mengecat kuburan dengan emas, menyembunyikan maut di balik kemilau istana. 

Namun, apakah semua ini berhasil? Di Karbala, tangis untuk Husain menjadi cermin bagi duka tersembunyi atas sang kakek. Penguasa boleh menulis sejarah dengan pena mereka, tetapi suara kebenaran tak pernah benar-benar padam. 

Pada hakikatnya, inilah pola abadi kekuasaan: 
- Seni Pengalihan: Bukan menghapus fakta, tapi mengalihkan pusat gravitasi ingatan. 
- Agama yang Dikendalikan: Keputusan politis dibalut jubah teologi.

Wafat manusia termulia adalah memori yang terlalu berbahaya bagi takhta. Maka ia dibungkus rapi dalam doktrin, lalu dikubur di bawah monumen kemenangan. 

Ini bukan persoalan mazhab, melainkan hakikat sejarah dan martabat insani. Al-Qur’an sendiri mengingatkan: "Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelumnya pun telah berlalu para rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kalian akan berpaling?"(QS. Ali Imran: 144). Jika umat lain merayakan kelahiran hingga mengenang wafat nabinya dengan khusyuk, mengapa umat Islam dijauhkan dari hak mengingat kepergian Rasul termulia?

Di sini, sejarah mengajarkan bahwa ketika pena di tangan penguasa, kebenaran sering kali menjadi lukisan yang dipoles sesuai pesanan—tapi ia takkan pernah bisa menghapus cahaya yang menembus lorong waktu dan menyalakan pendar kesadaran para penentang ketidakadilan.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML