Apa itu "lomba share"? Ini adalah kompetisi tak resmi di mana anggota grup WA berlomba membagikan konten—dari artikel kesehatan, doa panjang berantai, hingga meme politik—dengan semangat "yang penting share duluan", tanpa peduli relevansi, kebenaran, atau kebutuhan penerima.
- Ironi Pertama: Konten yang dibagikan seringkali judulnya bombastis, isinya copas dari sumber ambigu, dan ujung-ujungnya berakhir di trash memori kolektif grup.
- Ironi Kedua: Orang yang share
artikel "Bahaya Gadget" justru melakukannya sambil scroll HP di kamar mandi.
Mengapa Orang Terjun ke "Lomba Share"?
- Pencarian Validasi Sosial
Motto tersembunyi: "Lihat, aku peduli! Aku update informasi! Aku eksis!" Padahal, yang terjadi adalah perang kepentingan ego—bukan pertukaran ide. Contoh: Menyebar info "Minum air rebusan kulit pisang sembuhkan kanker" demi dianggap concern pada kesehatan grup, meski sumbernya cuma blog abal-abal atau short video Tiktok entah dokter atau sekadar pengais monetisasi. - FOMO (Fear of Missing Out)
Takut dianggap ketinggalan zaman atau tidak religius jika tak ikut share ayat/dzikir tertentu. Hasilnya: grup dipenuhi 15 versi berbeda dari "Doa Pagi Penangkal Santet". - Ilusi Kontribusi
Berbagi konten dianggap sebagai "pengabdian" pada grup, meski sebenarnya hanya menambah deretan notifikasi yang tak dibaca. Fakta pahit : 80% anggota grup WA mute notifikasi, termasuk yang rajin share.
Dampak "Lomba Share": Dari Hoaks Hingga Alienasi
- Grup WA Jadi Tempat Sampah Digital. Anggota grup yang ingin baca info penting harus menyelam di lautan meme, broadcast ucapan selamat pagi, dan video TikTok yang di-reupload tanpa izin.
- Hoaks Berkembang Biak. Konten yang diviralkan seringkali: a) "Salah kaprah" (Contoh: "Tes COVID dengan menahan napas 10 detik"); b) "Manipulasi emosi" (Contoh: "Share ini atau keluargamu celaka!" atau "Selamat nyawa sesama dengan meneruskan info ini!").
- Hubungan Sosial Tergerus. Grup yang seharusnya jadi ruang diskusi berubah jadi monolog massal. Orang sibuk share, tapi tak ada yang benar-benar baca atau merespons. Di grup keluarga, misalnya, yang ramai hanya saat ada broadcast "Selamat Hari Ibu", lalu kembali sepi.
Share demi Apa?
- Agama Share-isme. Di era digital, "iman" diukur dari jumlah konten yang dibagikan, bukan dari pemahaman. Contoh: Share 100 ayat Al-Qur'an, tapi tak tahu artinya. Share artikel filsafat, tapi cuma baca judulnya.
- Budaya "Cangkir Kosong" Banyak orang share konten seolah menuangkan air ke cangkir orang lain, padahal cangkirnya sendiri kosong. Lucunya, semakin banyak dibagikan, semakin sedikit yang melekat di memori.
- Hantu Digital. "Lomba share" melahirkan hantu/hantu yang berjalan dalam mode autopilot: lihat-judul-menarik-share-lupa.
Penutup:
Mungkin kita semua adalah korban. "Lomba share" adalah cermin masyarakat yang terjebak antara hasrat terlihat peduli dan kemalasan berpikir. Di balik niat baik berbagi, seringkali tersembunyi kesepian digital—upaya mengisi ruang kosong dengan kebisingan.
Jadi, sebelum menekan tombol share berikutnya yang akan menindih info yang dishare semenit lalu, mungkin ada baiknya bila berhenti sejenak—siapa tahu di balik jeda itu, kita bisa membaca dengan tenang info yang dishare sebelumnta dan menemukan tulisan atau info makna yang layak dibagi.