Sebagian orang menganggap semua ajakan partisipasi dalam sebuah projek nirbala atau kebaikan sebagai tanda kebergantungan program itu kepadanya. Padahal boleh jadi, ajakan itu didasarkan pada apresiasi terhadap kemampuan dan sangka baik akan tingginya kesadaran keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan dan komitmennya, bukan karena projek itu tak sukses tanpa kontribusinya.

Bila alasan penolakan partisipasi adalah pekejaan mencari nafkah yang memerlukan totalitas fokus, maka alasan yang sama juga bisa dikemukakan oleh orang-orang lain yang nyatanya menyatakan bersedia berpartisipasi dengan mengatur dan membagi waktu.

Partisipasi seharusnya dilihat sebagai kesempatan untuk berbagi, bukan alat tukar untuk pengakuan atau kekuasaan.

Kesuksesan projek sosial diukur dari dampak, bukan profit. Jika projek bisa "tidak bergantung pada satu orang", itu justru tanda keberhasilan sistem kolaboratif.

Fenomena ini adalah cermin bagaimana individualisme dan kecemasan akan eksistensi diri menggerogoti makna sejati partisipasi.

Mengubah perspektif dari "mereka butuh saya" menjadi "saya bisa belajar dan tumbuh bersama mereka" adalah langkah awal untuk memulihkan esensi kolaborasi yang tulus.