Meski amat jarang melihat selain berandaku sendiri, aku kerap memperhatikan akun seorang teman di Facebook yang hanya memiliki satu teman mutual. Tulisan-tulisannya tentang perjuangannya melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya selalu menyayat hati. Meski diungkap dengan diksi yang tegar, setiap kata bernuansa cinta kepada putri semata wayangnya yang masih kecil. Aku selalu meninggalkan komentar berisi doa kesembuhan.
Hari ini, saat duduk sendirian, namanya tiba-tiba terlintas. Penasaran, kubuka akunnya. Sejak 17 Maret, tidak ada pembaruan tentang progres operasi atau kemo yang dijalaninya selain ucapan selamat ulang tahun selkitar 2 bulan lalu dan sebuah status dari temannya: "Selamat Jalan! Kau kini bebas dari rasa sakit." Dadaku sesak.
Aku masih ingat kata-katanya di balik layar yang retak oleh rasa sakit: "Tuhan menulis cerita dengan tinta yang kadang tak bisa kita baca, tapi selama ada nafas, aku akan berjuang melihat putriku tersenyum. "Kini, layar itu gelap. Akunnya diam, sepi, terhenti di tanggal 17 Maret—sebuah tanggal yang dulu hanya angka biasa, kini menjadi nisan digital yang membeku.
Dia menulis tentang rasa perih kemo yang membakar urat nadi, tentang malam-malam panjang penuh perjuangan di kamar rumah sakit yang dingin, tentang IV drip (infus kontinu) yang menggantikan detak jam. Tapi selalu, selalu ada foto putrinya di setiap postingan: bocah kecil dengan pita merah di rambut, tersenyum polos. "Inilah alasan aku bertahan,” katanya. Dan kami, yang membaca, percaya dia akan terus bertahan.
Tapi jelang pukul 2 dini hari pagi, baris komentar di akunnya berubah menjadi altar kelabu, beranda yang sepi. “Selamat jalan, sahabat. Kau akhirnya tenang.” Kalimat itu terasa seperti pisau yang menyayat sisa harapan. Aku membayangkan putrinya yang masih kecil itu, mungkin belum paham mengapa ibu tak lagi mendekapnya.
Di sudut layar, foto terakhirnya masih terpampang: dia duduk di kursi roda, mata cekung tapi bersinar, memeluk erat putrinya yang tertawa tak peduli dunia sedang runtuh. "Kanker boleh ambil rambutku, tapi tak akan ambil tawa kami,” tulisnya. Kami semua mengira itu adalah prolog perjuangan, bukan epilog.
Kausalitas memang tak berperasaan: merenggut ibu dari anak yang masih perlu belajar mengikat sepatu, merenggut istri dari suami yang berjanji sampai ujung usia merenggut nyawa yang pantang menyerah hanya karena sel-sel ganas memutus pita DNA. Tapi di tengah kekejaman itu, dia tetap menorehkan cahaya. Seperti bianglala yang muncul sesaat setelah hujan deras, dia mengajarkan arti ketegaran yang tak berbunga-bunga, yang polos, yang jujur.
Kini, tak lagi mendengar derit infus atau detak monitor jantung. Tapi di sini, di dunia yang patah ini, ada sepasang mata kecil yang masih menunggu cerita sebelum tidur dan suami yang menggenggam cincin kawin dengan erat, dan kami yang mendoakannya.
Cahayanya takkan padam—ia akan hidup dalam tawa putrinya, dalam nafas suaminya, dan dalam setiap kata yang dia tinggalkan di layar usang ini.
Dia tak pergi tapi bertransendensi tanpa mengkhawatirkan putrinya yang akan selalu di bawah lindungan Penciptanya. Maafkan kami.
Banyak martir di medan juang senyap ini yang layak dihormati dan dikenang. Semoga Allah menerima mereka dengan ampunan dan kasihNya.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML