MEMERIKSA KLAIM "ILMIAH" VERSI INFLUENCER (3)
(Bagian Penutup : Apa yang Benar? )
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai di situ saja. Ada banyak teori yang menawarkan parameter kebenaran.
Teori Ketersambungan
Menurut teori ini, pernyataan ditetapkan sebagai benar bila koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Itulah sebabnya, seseorang yang tidak menunjukkan adanya keserasian dan ketersambungan antara pernyataan terbaru dan pernyataannya pada waktu yang lalu dicap sebagai bodoh, ngawur, pendusta atau hipokrit.
“Si Imad adalah seorang manusia dan ia pasti akan mati” adalah pernyataan yang pasti benar (tidak mungkin salah) karena koheren dengan pernyataan "Semua manusia akan mati." Contoh lain, "salju itu dingin" ditetapkan sebagai pernyataan benar karena berkoherensi dengan "udara pasti dingin saat salju turun".
Kebenaran koherensi berlaku juga dalam matematika karena beberapa dasar pernyataan yang disepakati sebagai benar alias aksioma.
Plato dan Aristoteles adalah dua Filsuf Yunani yang mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran Euklides dari Aleksandria dalam menyusun geometri.
Dalam filsafat Islam, teori koherensi ini berlaku dalam proposisi logika dan epistemologi.
Teori Kesesuaian
Tolok ukur kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta objektif. Pandangan ini dikenal dengan Teori Korespondensi.
Meski telah manusia cerdas sejak dulu menggunakannya dalam berpikir dan berperilaku, teori ini secara resmi dicetuskan oleh beberapa filsuf Barat, seperti Spinosa, Descartes, Hegel dan Bradley.
Menurut teori ini, pernyataan benar adalah yang kontennya berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan "saat ini udara terasa dingin" dianggap sebagai pernyataan benar karena berkorespondensi dengan fakta musim dingin saat pernyataan itu dibuat.
Pada umumnya, filsafat (epistemologi dan ontologi, aksiologi juga teologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan) didasarkan pada koherensi.
Teori Kegunaan
Pandangan ini dikenal Teori Inherensi, namun lebih populer dengan sebutan pragmatisme. Pandangan pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) ini dikembangkan oleh William James.
Menurut teori ini, pernyataan yang benar adalah yang berguna secara fungsional dalam kehidupan. Secara umum, pragmatisme meliputi semua kegunaan material dan mental. William James, salah tokoh utama pragmatisme pernah berkata, “Tuhan ada” adalah pernyataan benar bagi seseorang yang merasakan manfaat karena percaya adanya Tuhan. Artinya, menurut James, kepercayaan adanya Tuhan meskipun tidak bisa dibenarkan dengan dasar koherensi dan korespondensi, adalah proposisi yang benar.
Dalam filsafat Islam, terutama Sadraisme, memberikan perhatian besar kepada korespondensi dan koherensi tanpa mengabaikan faktor fungsi dan kegunaan.
Pernyataan yang koresponden dengan fakta pastilah benar, karena kebenaran adalah fakta itu sendiri. Itulah yang disebut dalam terminologi khas, Nafs al-amr, yang secara bahasa berarti sesuatu pada dirinya. Fakta itulah yang diperluas maknanya dan diganti terminologinya dengan realitas agar mencakup realitas eksternal dan objektif (yang dalam epistemologi Barat disebut korespondensi) juga realitas mental alias internal alias subjektif (yang dalam epistemologi Barat disebut koherensi). Artinya bila sebuah pernyataan dianggap benar karena koresponden dengan realitas, maka pastilah terkonsepsi dalam rangkaian proposisi yang aksiomatik dan teorematik alias koheren.
Atas dasar ini, suatu pernyataan ditetapkan sebagai proposisi benar bila berkorespond dengan realitas dan tersambung konsepsinya pada aksioma, yaitu nafs al-amr alias fakta itu sendiri. Hanya saja, fakta dalam Sadraisme mencakup realitas dalam pengertian yang luas sekaligus gradu. Karena itu, koherensi meliputi realitas eksternal (faktual), realitas mental (konseptual) dan realitas sejati.
Ada kalanya manusia mempersepsi dengan inderanya aneka entitas (sesuatu) seperti rumah, jalan, kucing, dan sebagainya. Ini paling sering dialami manusia, bahkan banyak yang menganggap objek-objek konkret dan terinderakan itulah realist semata.
Teori Gradasi
Kadang-kadang manusia mempersepsi dengan akalnya entitas-entitas mental yang tak hadir dalam realitas faktual (objektif) seperti ide-ide yang kita sebut afirmatif, negatif, mayor, minor, universalia, partikularia, dan sebagainya yang tak ditemukan dalam realitas faktual dan eksternal namun digunakan dalam ilmu logika. Manusia bahkan bisa mengkonsepsikan "ketiadaan" yang sudah pasti tidak faktual.
Dengan kata lain, pernyataan manusia (yang rasional, tentunya) dapat dibagi dalam tiga kelompok:
1. Proposisi faktual (khārijiyah)
2. Proposisi mental (dzihniyah)
3. Proposisi sejati (haqiqiyah)
Nafs al-amr menjadi wadah bagi kebenaran proposisi-proposisi di atas. Karena itulah ia memiliki sisi ontologis dengan korespondensi yang menjadi kausa koherensi.
Bagaimana kita membandingkan kebenaran ilmiah dan kebenaran filosofis?
Dulu dipercaya bahwa kebenaran ilmiah dan kebenaran filosofis adalah hal yang sama karena ilmu pengetahuan (sains) terkait dengan filsafat. Namun, setelah sains terpisah dari filsafat, itu menyebabkan kompleksitas yang lebih besar. Ini mengarah pada pertanyaan: bagaimana kita membedakan antara kebenaran filosofis dan kebenaran ilmiah? Apa perbedaan antara kedua konsep ini? Bagaimana kita menentukan kesamaan keduanya?
Pembicaraan tentang perbedaan antara kedua kebenaran membawa kita pada pembahasan sejarah keduanya. Kebenaran filosofis lebih tua daripada kebenaran ilmiah, karena filsafat merupakan induk ilmu dan ini membuat kebenaran ini mutlak dan komprehensif dalam keberadaannya, karena itu adalah kebenaran yang dikarakteristikkan dengan umum. Sedangkan kebenaran ilmiah dikarakteristikkan oleh spesifikitas karena itu adalah kebenaran relatif.
Selain itu, filsafat menangani masalah-masalah umum yang membuatnya menimbulkan pertanyaan, sedangkan ilmu (sains) menangani masalah-masalah khusus yang berkisar pada masalah-masalah yang terpisah dan berkaitan dengan realitas. Kebenaran filosofis terkait dengan metafisika, sementara kebenaran ilmiah terkait dengan fisika. Kebenaran filosofis menuntut kontemplasi bernalar dan kebebasan berpikir, sedangkan kebenaran ilmiah didasarkan pada observasi dan eksperimen. Kebenaran filosofis bersifat otonom pada awalnya, sementara kebenaran ilmiah bersifat obyektif dalam presentasinya. Yang pertama tanpa jawaban pasti, sementara yang kedua memiliki jawaban definitif.
Baik kebenaran filosofis maupun kebenaran ilmiah merupakan pengetahuan berorientasi yang mencerminkan gerakan pikiran keduanya adalah pengetahuan terstruktur yang menunjukkan sejauh mana ketertarikan manusia dan usaha untuk menemukan lebih banyak. Kedua kebenaran patuh pada prinsip-prinsip rasio yang sehat yang bergantung pada prinsip-prinsip pikiran.
Baik kebenaran filosofis maupun kebenaran ilmiah berfungsi untuk memungkinkan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi. Kedua belah pihak bekerja untuk menghilangkan kebodohan dan melawan keyakinan mitos dan superstisi. Keduanya adalah metode yang berusaha meningkatkan manusia menuju penemuan, pengetahuan, inovasi, dan pembaruan.
Sifat hubungan antara keduanya adalah hubungan yang didasarkan pada integrasi dan harmoni. Filsafat memunculkan masalah, sementara ilmu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Filsafat akan mendorong ilmu untuk memperbarui hasilnya berdasarkan pertanyaan yang diajukan.
Secara keseluruhan, kebenaran filosofis memiliki karakteristik yang fundamental, mutlak, dan inklusif, sedangkan kebenaran ilmiah memiliki karakteristik yang terbatas dan relatif. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa keduanya saling terkait dalam hubungan yang diperlukan. Kedua pengetahuan menghadapi masalah sesuai dengan disiplin dan spesifikasinya masing-masing.
Itulah sekelumit tentang "ilmiah". Yang bikin kita bingung dan kadang geli adalah fenomena dua sosok sapien yang tak mewakili komunitas filsafat juga komunitas sains (karena tak punya bekal kredensi dalam dua cabang peradaban itu) tapi berceloteh tentang "ilmiah" hanya dengan mengandalkan follower pecandu industri kehebohan dan gerombolan pemuja tinja peradaban : rasisme.