Lebaran tahun ini  menganga bagai luka. Di balik letusan petasan kembang api dan gemerlap lampu kerlap-kerlip, tersembunyi ribuan cerita tentang 'mudik paksa' yang tak pernah sampai. Mereka yang berangkat dengan koper impian, pulang dengan ransel berisi surat pemutusan hubungan.

Pahlawan-pahlawan kuli bangunan yang tiba-tiba jadi angka statistik. Ibu-ibu pabrik garmen yang terpaksa menukar baju Lebaran dengan sembako darurat. Pemuda lulusan cumlaude yang kini menghitung receh di halte bus sambil mencoba meniru The Beatles atau Iwan Fals.

Sementara di menara-menara gading, para pengambil keputusan sibuk berdebat tentang angka pertumbuhan ekonomi - seolah keringat buruh yang menguap itu tak layak masuk dalam kalkulasi.

Sistem yang memuja efisiensi ini ternyata mahal harganya: harga martabat manusia yang dikorbankan di altar laba korporasi. Kebijakan-kebijakan yang lahir dari rahim kekuasaan buta, melahirkan generasi perantau yang terdampar di persimpangan zaman. Surat-surat PHK bermaterai resmi lebih kejam daripada senapan kumpeni.

Takbir aktual adalah membela mereka yang dizalimi sistem dan demokrasi abal-abal.