Di era banjir konten digital, muncul fenomena menarik sekaligus problematis: tokoh-tokoh yang kerap membagikan petuah hidup bijak dengan retorika memikat sering dianggap sebagai "ahli filsafat".

Padahal filsafat sejati adalah disiplin ilmu yang berpusat pada kajian ontologis-metafisik melalui serangkaian postulat ketat, yang hanya dapat dikembangkan dalam forum-forum khusus para peminat serius.

Kita telah mengubah filsafat—ibu segala ilmu pengetahuan—menjadi sekadar pajangan intelektual. Filsafat yang seharusnya menjadi pisau bedah yang membedah realitas, dan hanya menjelajahi "existence qua existence" kini direduksi dan dimutilasi menjadi tujuh tema yang merupakan asesoris atau pelengkap;

  1. Sejarah Filsafat→ Sekadar kronologi kematian dan kelahiran gagasan, tanpa memahami denyut nadinya.
  2. Biografi Filsuf → Gosip intelektual tentang Kierkegaard yang depresi atau Nietzsche yang gila, seolah-olah sakit jiwa adalah syarat menjadi filsuf.
  3. Kutipan Bijak→ Potongan-potongan kata yang dijadikan caption Instagram, terlepas dari konteks pemikiran yang melahirkannya.
  4. Judul Buku Filsuf→ Dijadikan koleksi untuk pamer, bukan dibaca sampai halaman terakhir.
  5. Istilah Asing → Dasein, a priori, dialektika—dijual sebagai jargon dan alat menggertak, bukan alat berpikir.
  6. Aliran-aliran → Dikotomi konyol: "Aku eksistensialis!" "Aku stoik!" seolah filsafat adalah pilihan fans club atau fandom seperti Marvel atau DC.
  7. Retorika Rumit→ Bahasa yang sengaja dipadatkan dengan diksi asing agar terdengar dalam, padahal kosong.

Akibat Reduksionisme ini adalah

  • Komodifikasi Kebijaksanaan : Filsafat direduksi menjadi komoditas self-help yang dijual dengan kemasan estetis
  • Ilusi Pemahaman : Audiens merasa "telah berfilsafat" padahal hanya mengonsumsi simplifikasi
  • Erosi Disiplin Ilmu : Tradisi pemikiran ribuan tahun dikerdilkan menjadi sekadar quote instagramable.

Filsafat bukanlah museum tempat kita mengagumi pemikiran orang mati tetapi scientia prima—ilmu pertama yang bertanya:

  • Apa itu ada? (bukan sekadar "apa itu hidup bahagia?")
  • Bagaimana kita tahu bahwa kita tahu? (bukan sekadar "ikut kata hati!")
  • Mengapa ada sesuatu dan bukan ketiadaan (bukan sekadar "positive vibes only!")

Filsafat sejati bukanlah menghafal istilah atau kutipan, melainkan berani menyelam ke dalam lautan ontos dari Aristoteles hingga Tabatabai.

Filsafat sejati adalah pertarungan gagasan, bukan kumpulan kutipan atau kemegahan artikel super "njelimet" di jurnal ilmiah dengan puluhan catatan kaki. Ia adalah api yang membakar kepalsuan, bukan lilin aromaterapi untuk relaksasi.

"Filsafat bukan ilmu tentang buku-buku, melainkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah usai." ~Immanuel Kant~