Setiap orang berhak mencintai tanah airnya. Ikatan emosional dengan budaya, sejarah, atau pencapaian bangsa adalah hal yang manusiawi. Namun, ketika kebanggaan ini berubah menjadi kesombongan kolektif yang merendahkan negara lain, ia tak lagi menjadi cinta, melainkan cermin kedangkalan pikiran. Sayangnya, di era globalisasi ini, masih banyak yang terjebak dalam sikap "kami yang terhebat, kalian tak berarti"—sebuah mentalitas yang tidak hanya arogan, tetapi juga berbahaya.
Mengapa seseorang merasa perlu menghina negara lain untuk membuktikan keistimewaan negaranya? Apakah kemajuan sebuah bangsa harus diukur dengan merendahkan kemajuan bangsa lain? Tindakan seperti ini seringkali lahir dari ketakutan akan keragaman atau ketidaktahuan akan kompleksitas dunia. Misalnya, membandingkan keindahan alam suatu negara dengan menyebut negara lain "gersang", atau membanggakan prestasi teknologi sambil mengejek negara berkembang sebagai "terbelakang". Ini bukan sekadar kritik konstruktif, melainkan penghinaan yang mengabaikan konteks sejarah, geopolitik, dan perjuangan setiap bangsa.
Bahayanya, sikap seperti ini menciptakan dinding imajiner antarnegara. Alih-alih membuka ruang dialog, ia memupuk prasangka, xenofobia, dan bahkan kebencian. Ingat, nasionalisme sempit pernah menjadi pemicu perang dunia, diskriminasi, dan penindasan kolonial. Saat kita menganggap bangsa sendiri sebagai pusat peradaban, kita merendahkan hak bangsa lain untuk diakui, sekaligus mengabaikan kontribusi mereka pada kemanusiaan.
Bila kita menoleh ke belakang, nasionalisme ekstrem pernah menjadi sumber malapetaka dunia, terutama Eropa. Semboyan "Deutschland über Alles" (Jerman di Atas Segalanya), yang diambil dari lagu kebangsaan Jerman abad ke-19, yang semula dimaksudkan untuk mempersatukan negara-negara kecil Jerman yang terpecah sebagai nasionalisme romantis diputarbalikkan olen Nazi menjadi doktrin supremasi rasial, mengklaim bangsa Jerman (ras Arya) sebagai "unggul" secara biologis. Semboyan "Über Alles" mengingatkan kita bahwa nasionalisme, ketika dibumbui kebencian dan klaim superioritas, dapat melahirkan fasisme, rasisme, dan imperialisme. Sejarah mengajarkan: cinta tanah air harus dibangun di atas inklusivitas**, bukan eksklusivitas; pada kemanusiaan**, bukan kebencian.
Setiap negara punya cerita unik. Norwegia mungkin unggul dalam kebahagiaan warganya, tetapi Rwanda patut dikagumi karena bangkit dari genosida. Jepang dihormati karena teknologinya, sementara Kosta Rika dipuji karena komitmen lingkungannya. Tidak ada bangsa yang sempurna, termasuk negara kita sendiri. Justru, kekuatan global terletak pada keragaman ini. Jika kita sibuk menyoroti "kekurangan" orang lain, kita lupa bahwa negara kita pun punya masalah yang perlu diperbaiki—tanpa perlu dicemooh oleh pihak luar.
Cinta tanah air sejati bukanlah tentang membual, tetapi tentang berkontribusi untuk kemajuan bangsa tanpa menginjak martabat bangsa lain. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai kelebihan orang lain sambil terus memperbaiki diri. Daripada menghabiskan energi untuk menghina, mengapa tidak belajar dari keberhasilan negara lain? Daripada memupuk permusuhan, mengapa tidak menjalin kolaborasi?
Di dunia yang saling terhubung ini, masalah seperti perubahan iklim, pandemi, atau krisis pangan hanya bisa diatasi dengan solidaritas global. Jika kita terus terjebak dalam mentalitas "kami vs mereka", kita semua akan kalah. Mari bangga pada negara sendiri, tetapi jangan lupa: kebesaran sejati terletak pada kemampuan menghormati kebesaran orang lain.
Kebanggaan yang sehat tidak membutuhkan korban. Ia hanya membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa setiap bangsa—seperti setiap manusia—memiliki keunikan, kelemahan, dan hak untuk dihargai.
Bangsa kerdil adalah yang mengagungkan dalam jargon tefapi tunduk kepada tekanan kekuatan asing. Negara yang maju bukanlah yang hanya dicintai dalam seremoni dan simbol namun digrogoti oleh arogansi, rasisme, chauvinisme, intoleransi, individualisme, separatisme, kehendak dominasi, korupsi, oligarki dan demokrasi palsu "money politic". Bangsa yang besar tak mesti menghuni wilayah darat dan laut yang luas dan banyak tapi yang rela miskin demi kemandirian, kedaulatan dan kemerdekaan.