Tak ada orang yang sengaja menghina diri sendiri, tapi sebagian orang justru melakukannya secara tak langsung: merendahkan keyakinan sendiri atau mencemooh komunitas seiman demi dianggap "moderat", "kritis", atau sekadar mengejar engagement di media sosial. Ironisnya, sikap ini bukan hanya mencerminkan krisis pemahaman (episteme), tapi juga membuka pintu bagi pihak luar untuk semakin leluasa menghina keyakinan yang sama. 

Ketika Penganut Jadi Penghina: Dari Cemooh Keyakinan hingga Stigmatisasi Sesama

Menganut suatu keyakinan—agama, mazhab, atau prinsip—harusnya berarti mengafirmasi komitmen untuk menghormati nilai esensialnya, meski tak semua ajaran dipraktikkan secara sempurna. Sayangnya, sebagian orang mengira bahwa mengolok-olok keyakinan sendiri atau menyindir komunitas seiman adalah cara menunjukkan kecerdasan dan sikap "kritis". Mereka lupa: penghinaan tak ditentukan oleh niat baik di benak, melainkan oleh ucapan dan tindakan yang justru dianggap lucu atau kontroversial. 

Contoh nyata terlihat dalam fenomena *over-acting toleransi* di kalangan Muslim. Demi dianggap "progresif", sebagian individu dengan bangga mendekonstruksi ajaran agamanya tanpa dasar epistemologi jelas, atau bahkan menyindir pejuang Palestina yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Mereka mengkritik sesama Muslim dengan stigma general—seperti menyamakan pejuang Gaza dengan "ekstremis"—sambil berpura-pura menjadi juri etika. Padahal, Al-Qur'an tegas memerintahkan pembelaan terhadap mustad'afin (QS. An-Nisa': 75) dan keadilan (QS. Al-Hujurat: 9). 

Dari Krisis Pemahaman Hingga Pencitraan Digital
Motif di balik sikap ini beragam: ada yang ingin terlihat "moderat" di bawah tekanan sosial, ada pula yang sengaja memanfaatkan kontroversi untuk meraup keuntungan di media sosial. Saat dikritik, mereka kerap bersembunyi di balik dalih "kelepasan" atau "kritik konstruktif". Padahal, Al-Qur'an mengingatkan bahwa toleransi harus timbal balik (QS. Al-Kafirun: 6), bukan mengorbankan prinsip demi pencitraan. 

Fenomena ini juga mencerminkan internalized phobia—ketika seorang Muslim secara tak sadar menyerap narasi islamofobia media Barat, lalu menyalurkannya kembali dalam bentuk cemooh terhadap identitasnya sendiri. Akibatnya, mereka justru menjadi lebih destruktif daripada para pembenci dari luar. 

Moderasi Sejati: Teguh Prinsip, Bukan Mengejar Pujian
Islam menghargai akal (QS. Al-Baqarah: 164) dan kritik internal untuk islah (perbaikan), bukan takhrib (perusakan). Kritik haruslah lahir dari ilmu, bukan sekadar reaksi atas pengalaman personal atau keinginan terlihat "open-minded". Membela Palestina, misalnya, bukan sekadar isu politik, tetapi bagian dari prinsip melawan kezaliman (QS. Al-Hujurat: 9). 

Toleransi sejati bukan berarti mengiyakan segala pandangan luar atau mencemooh keyakinan sendiri, melainkan menjaga martabat sambil menolak kejahatan dengan cara terbaik (QS. Fussilat: 34). Umat beragama tak perlu inferior: komitmen pada prinsip dan warisan intelektual adalah kekuatan, bukan kelemahan. 

Penutup: Menjadi Penganut yang Menghormati Diri Sendiri
Menghina keyakinan sendiri—entah lewat canda, stigmatisasi, atau kompromi nilai—adalah pengkhianatan intelektual dan spiritual. Jika tak sanggup menghormati diri sendiri, jangan harap dihormati pihak lain. Moderasi sejati lahir dari keteguhan, bukan pencitraan. Sebab, seperti kata pepatah Arab: "Siapa yang tak mencintai penghuni bumi, akan dicintai oleh penghuni langit."