Di tengah umat terdapat sedikit orang yang meyakini bahwa mata Allah yang selalu memantau mereka dalam segala situasi dan kondisi lebih "menakutkan dari CCTV. Mereka adalah orang-orang layak menyandang tiara dan gelar "ulama".
Ulama (bahasa Arab: العلماء) secara etimologis bermakna ‘orang-orang berilmu’. Secara etimologis, ilmu yang berasal dari kata Arab Ilm dapat didefinisikan secara umum sebagai info atau premis utuh dan valid tentang sesuatu.
Secara terminologis alim dan ulama mengandung dua pengertian, yaitu a) atribut umum bagi setiap orang yang memiliki bepengetahuan dalam sebuah bidang( b) atribut khusus bagi orang yang dianggap mempunyai pengetahuan dalam bidang agama dan yang berkaitan dengannya.
Dalam termiologi umum, sebagaimana berlaku dalam bahasa Arab modern, alim (ulama) berarti ilmuwan atau saintis. Dalam terminilogi khusus, terma alim dan ulama adalah atribut bagi yang dianggap mempunyai pengetahuan tentang agama. Ada pula yang mereduksinya sebagai atribut untuk orang yang dianggap taat beragama.
Sayangnya alim dalam pengertian khusus ini sangat longgar, ambigu dan tidak sistemik. Dalam pandangan masyarakat awam, ulama adalah siapapun yang terlihat atau dikenal sebagai ulama. Ia tak meniscayakan standar integritas dan asas kompetensi dalam bidang keagamaan tertentu.
Sejatinya, seseorang disebut “ulama” karena ia takut kepada Allah, bukan karena mengaku ulama. Dalam al-Quran tertera ayat: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28)
Dalam ayat ini, ulama didefinisikan sebagai orang yang ilmunya melahirkan khasyyah (rasa takut yang disertai penghormatan kepada Allah). Ini menekankan integrasi antara pengetahuan dan perilaku, ketika keilmuan hanya bernilai bila terejawantah dalam sikap dan perilaku.
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa dalam ayat ini, kalangan berpengetahuan (ulama) berposisi sebagai subjek (pelaku, fa’il). Kata Allah berposisi sebagai objek (maf’ull) yang didahulukan. Tujuan peletakan kata ulama sebagai subjek dan Allah sebagai objek memberikan penegasan bahwa yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang berpengetahuan. Dengan demikian, ayat tersebut bermakna, “Para ulama adalah mereka yang takut kepada Allah.” Bila subjeknya didahulukan, pastilah pengertiannya menjadi, “Sesungguhnya para ulama adalah yang takut kepada Allah.” Permaknaan demikian tidak dibenarkan, karena berarti ada di antara para ulama yang tidak takut kepada Allah.
Karena itu, perlu reekonstruksi kriteria ulama dengan mengembalikan definisi ulama sesuai QS. Fāṭir: 28: ilmu yang mendalam(ilm al-yaqīn) + amal konsisten (amal al-ṣāliḥ) + khasyyah (takut kepada Allah).
Ulama harus dipahami sebagai agen perubahan sosial yang tidak hanya menguasai teks, tetapi juga hidup dalam kesederhanaan, melindungi kaum lemah, dan berani mengkritik ketidakadilan—termasuk dalam tubuh institusi agama sendiri. Seseorang tidak layak disebut ulama jika terlibat korupsi, ujaran kebencian sektarian dan rasial, kekerasan, atau pelecehan—sekalipun banyak pengikut dan tokoh ormas.
Kasus-kasus pelecehan oleh tokoh agama adalah tamparan keras bagi umat. Jika ulama tak mampu membersihkan barisannya sendiri, bagaimana mereka bisa mengklaim diri sebagai "pewaris nabi"?