Di tengah perbincangan tentang tokoh agama, seringkali kita dihadapkan pada stereotip yang menyederhanakan kompleksitas dunia keilmuan. Di Indonesia, sebutan "ustadz" belum tentu mencerminkan kedalaman pemahaman agama. Begitu pula di pusat-pusat keilmuan Islam seperti Iran dan Irak, sorban dan aba'ah memang identik dengan penguasaan ilmu agama, namun ini tidak serta-merta jadi dasar menyamakan semua ulama dengan intelektual kaliber Mutahhari atau Misbah Yazdi. Karena istimewa di dalam, mereka dikenal di luar.
Munculnya nama-nama besar seperti Allamah Thabathabai, Muhammad Baqir Sadr, Mutahhari, Taqi Misbah Yazdi, Taqi Ja'fari, Mehdi Haeri Yazdi (putra Syekh Abdolkarim Haeri Yazdi), dan Allamah Hasan Zadeh Amoli menunjukkan bahwa tidak semua yang bersorban memiliki kualitas keilmuan setara dengan mereka. Para figur ini telah meninggalkan jejak mendalam dalam khazanah intelektual Islam, baik melalui karya-karya monumental maupun pengaruh pemikiran yang melampaui batas-batas agama, madzhab dan negara.
Menariknya, sebagian ulama pemikir seperti Syahid Mutahhari dan ulama aktivis seperti SHN memiliki peran dan pengaruh yang bahkan lebih besar dari banyak marja' taqlid (otoritas tertinggi dalam fiqh dan ushul fiqh) yang sangat otoritatif. Ini menunjukkan bahwa kualitas ulama tidak hanya diukur dari otoritas mereka dalam fiqh, melainkan juga dari sumbangsih mereka dalam pengembangan pemikiran dan dampak sosial-intelektual yang dihasilkan.
Di Iran dan Irak dan sejumlah wilayah yang dihuni oleh Syiah dalam kuantitas signifikan seperti Lebanon, Afghanistan, Bahrain, Timur Saudi dan lainnya, terdapat beragam tipe dan kualitas ulama yang dikenal dengan sebutan ruhani atau akhund. Awalnya, gelar keulamaan seperti Ayatullah, Hujjatul Islam wal Muslimin, dan Hujjatul Islam secara tradisional merupakan pengakuan atas kompetensi tinggi dalam bidang fiqh. Standar kompetensi ini umumnya ditentukan oleh kemampuan ijtihad (penalaran hukum independen) dalam fiqh, sebuah tradisi yang telah berlaku berabad-abad dalam masyarakat Syiah.
Namun, sejak Revolusi Islam Iran, standar keulamaan mengalami perluasan signifikan. Kompetensi ulama kini tidak hanya terbatas pada fiqh, melainkan juga mencakup penguasaan ilmu-ilmu non-fiqh seperti filsafat, kalam (teologi), dan tafsir Al-Qur'an. Pergeseran ini memiliki implikasi besar, terutama karena tiga jenis ilmu terakhir ini dianggap lebih "berguna" dan relevan untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar komunitas Syiah. Filsafat memberikan kerangka pemikiran rasional, kalam menawarkan argumen teologis yang kokoh, dan tafsir membuka pintu pemahaman teks suci yang universal.
Perkembangan ini mencerminkan dinamika intelektual yang kaya di pusat-pusat keagamaan tersebut, di mana ulama modern semakin dituntut untuk tidak hanya menjadi ahli hukum, tetapi juga pemikir, filsuf, dan penafsir yang mampu menjawab tantangan zaman. Dengan demikian, memahami ulama di Iran dan Irak berarti memahami spektrum luas kualitas dan kontribusi mereka, yang jauh melampaui sekadar sorban yang mereka kenakan.
REDEFINISI ULAMA
