Senyum itu pisau tumpul
yang kau asah di rawa-rawa luka—
sepi merangkak di sela gigi,
tawa jadi topeng untuk getir yang meruap.
Kau terjang hidup dengan bisu:
angin ribut disimpan di balik kelopak mata,
air mata dikristal jadi permata palsu
untuk perhiasan jiwa yang terkelupas.
Di rawa-rawa hati, akar-akar dendam
tumbuh subur di antara lumpur maaf.
Kau petik rona dari nanar—
merah jadi kelam, kuning jadi jelaga,
hijau jadi racun yang kau tuang ke dalam gelas kosong.
Dunia ini panggung wayang:
kau gerakkan tangan, tapi bayanganmu memberontak.
Di balik layar, kau berbisik pada hantu-hantu masa lalu:
"Lihat, aku masih berdiri, meski patah-patah ini
menari seperti debu di tengah badai."
Senyapmu adalah gurun yang menyala,
tiap butir pasir menyimpan teriak yang tercekik.
Kau tak menangis—
kau hanya membiarkan hujan mengukir
goresan-goresan sunyi di pipi yang sudah beku.
Hingga akhirnya,
kegetiran dan ketangguhan
menjadi dua sisi mata uang yang kau sembunyikan
di saku berlubang—
siap jatuh ke tanah, tapi tak mau mengaku kalah.