Teman saya, Moh Moesa mengungkapkan kekaguman kepada banyak non-Muslim di barat, timur, utara, dan selatan yang gigih melakukan aksi individual maupun massal dalam acara informal maupun formal, seperti wisuda, laga sepak bola, dan konser, demi membela bangsa Palestina dengan ekspresi emosional sedih dan marah. Dia juga mengungkapkan kekecewaan terhadap orang-orang dengan sebutan simbolik "muslimin" yang beribadah secara superkolosal dan universal di tanah suci dan tempat turunnya wahyu ilahi, malah memasung fitrah ini akibat satu dan lain faktor.

Saya terpanggil untuk menimpali:

Di dasar kesadaran setiap manusia, ada suara sunyi yang mendahului segala ajaran—Fitrah. Ia adalah kompas batin yang mengarah pada kebaikan, getaran keadilan yang muncul bahkan sebelum kata "agama" terucap. Karena iman bermula dari Fitrah, maka benarlah bahwa agama inheren adalah moralitas insani yang mendahului doktrin agama. Sebelum ada teks suci, ritual, atau institusi—sudah ada kerinduan akan keadilan, belas kasih, dan kejujuran dalam hati manusia. Agama, dalam kesucian asalnya, adalah cermin yang memantulkan cahaya moral itu; ia datang untuk meresapi dan menyempurnakan lanskap kemanusiaan yang telah ada.

Dalam perjalanan ini, kesamaan agama tak menjamin kesamaan iman. Orang-orang yang beribadah dalam satu rumah, membaca kitab yang sama, atau menyandang identitas serupa, mungkin memancarkan cahaya keyakinan yang berbeda. Yang satu mungkin tenggelam dalam bentuk, sementara yang lain menyelam ke kedalaman makna. Sebaliknya, kesamaan iman tak mengharuskan kesamaan agama.

Cahaya kebenaran yang sama dapat terpantul melalui prisma tradisi yang berbeda. Jiwa yang merindukan Yang Tak Terbatas bisa menemukan jalannya dalam reruntuhan di Gaza yang melejitkan empati dan di tengah bising bocah-bocah yang menangis ketakutan dan kelaparan. Iman adalah bahasa jiwa yang universal.

Di sinilah kita menyaksikan keragaman dalam kesatuan: menyandang satu nama agama bisa berarti mengusung keyakinan yang berlainan. Satu bendera dinaungi oleh beragam panji pemaknaan. Istilah "agama" menjadi wadah yang menampung spektrum keyakinan—dari yang kaku dan tekstual, hingga yang cair dan esensial; dari yang membuka pelukan, hingga yang menutup pintu. Nama agama menjadi sungai besar yang dialiri oleh ratusan anak sungai iman—masing-masing mencari jalannya sendiri, kadang melampaui batas-batas aliran yang diharapkan.

Dalam keheningan bersama, getaran iman yang selaras dengan bisikan Fitrah mungkin melebarkan belas kasih atau menyempitkan pandangan. Ia bisa merendahkan hati atau meninggikan menara kebenaran diri. Tragedi kemanusiaan di Palestina menjadi ujian bagi Fitrah itu sendiri. Saat anak-anak tak berdosa menjadi korban, saat rumah-rumah rata dengan tanah, dan suara tangis memenuhi udara, Fitrah manusia mana pun akan bergetar. Mereka yang, meskipun tidak memiliki ikatan formal dengan agama tertentu, namun dengan lantang menyuarakan keadilan dan solidaritas untuk Palestina—dari unjuk rasa di jalanan kota-kota Barat hingga seniman yang menyampaikan pesan kemanusiaan melalui karyanya—merekalah yang menunjukkan iman sejati yang berakar pada Fitrah.

Sebaliknya, mereka yang mengklaim sebagai pengamal agama namun memilih diam, atau bahkan mendukung penindasan dengan berbagai dalih, mungkin telah membiarkan fitrah mereka terpasung oleh kepentingan politik, ketakutan, atau interpretasi sempit atas dogma. Di sinilah terkuak bahwa nama agama yang sama tidak selalu berarti adanya kepedulian yang sama terhadap sesama manusia. Solidaritas universal untuk Palestina adalah bukti nyata bagaimana beda agama bisa menghasilkan satu iman, iman pada keadilan, pada hak hidup, dan pada belas kasih yang melampaui batas-batas identitas.

Agama adalah jembatan menuju Yang Transenden, sedangkan iman adalah langkah setiap peziarah di atasnya. Setiap langkah adalah cerita unik.

Yang menyatukan bukanlah keseragaman jejak kaki, melainkan arah mata yang memandang: Kebenaran, Keadilan, Keindahan—cahaya abadi yang sejak awal telah bersemayam dalam Fitrah kita.

Mungkin, yang lebih bermakna daripada sekadar seagama adalah berjumpa dalam kesaksian batin yang sama: bahwa Nurani adalah tanah tempat kita semua berpijak. Di atas tanah nurani ini, kita semua adalah saksi atas penderitaan di Palestina, dan panggilan untuk bertindak adalah bisikan Fitrah yang tak bisa diabaikan.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML