Banyaknya interpretasi yang saling bertentangan terhadap teks Al-Quran juga banyaknya sumber dan metode periwayatan hadis yang tidak menghasilkan keseragaman ajaran, sebagaimana mestinya sebuah agama, menimbulkan aneka sikap.

Sekelompok orang kekeh memakai kacamata kuda menganggap agama ini hanya punya satu ajaran seraya memvonis info ajaran lain yang diklaim bersumber dari Islam sebagai sesat. Bagi mereka, Islam adalah monolit batu pualam: tunggal, kaku, dan sudah selesai.  Bagi mereka, sorga sudan pasti, dan yang mereka perebutkan hanyalah level sorga yang akan direservasi.

Sekelompok lain memilih meninggalkannya karena harapannya menganut agama dengan satu ajaran pupus. Mereka masuk Islam dengan harapan menemukan sistem ajaran yang rapi, seperti kitab manual mesin dengan satu umat bahkan, kalau boleh, terhimpun dalam satu organisasi. Tapi kenyataannya, mereka melihat pertikaian mazhab, kontradiksi fatwa, dan perebutan otoritas tafsir.  Sebagian dari mereka menjadi "muallaf" bagi agama lain dan menemukan startup keyakinan dengan fitur yang lebih mudah. Sebagian dari mereka memilih keluar dari agama—menjadi ateis atau agnostik. Sebagian lain tetap mengaku Muslim, tapi gaya hidup dan praktiknya hanya numpang identitas.

Kelompok ketiga adalah petualang yang berani melangkah keluar dari lingkaran keyakinan lamanya. Bagi mereka, ketidakteraturan tafsir bukan kutukan, tapi undangan untuk menggali lebih dalam. Di sini, lahirlah dua subspesies unik: 

Subkelompok A: bak  kurator kebenaran, memilih menjadi Muslim eklektik dengan menerima info dari manapun yang dianggapnya benar dan menolak yang dianggapnya salah karena menerima fakta sosiologis Islam tanpa satu ajaran.

Dengan prinsip  "Islam bukan monopoli satu kelompok", mereka memilah-milah ajaran dari berbagai sumber Islam, bahkan filsafat Barat atau psikologi modern. Mereka gigih mempertahankan tradisi yang tak wajib dengan alasan kearifan lokal tapi berani mengoreksi teks Al-Quran dan hukum agama yang sakral. Shalat mereka mungkin sama dengan orang-orang di kampung, tapi memodifikasi konsep keadilan dengan Das Capital-Marx atau meracik konsep gender dengan feminisme.

Sub kelompok B  adalah para ronin yang nekat mengambil risiko besar dan berat mencari pemimpin, melakukan rekonstruksi dari elemen-elemen paling primer untuk menganut Islam dengan metode, sumber dan produk ajaran yang hampir seluruhnya berbeda dan baru bagi mereka.

Di tengah belantara tafsir dan bisingnya lomba klaim otoritas, terlontar pertanyaan, apakah ia adalah satu nama untuk banyak ajaran (homonim) atau banyak nama untuk satu ajaran (sinonim)?

Pertanyaan ini bukan tentang sinonim/homonim dalam linguistik, melainkan metafora filosofis untuk menyoroti kompleksitas identitas Islam. Jika dipahami sebagai "sinonim", keragaman adalah kekayaan. Jika dianggap sebagai "homonim", perpecahan tak terelakkan.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML