Agama hadir sebagai penuntun hidup, idealnya menawarkan solusi yang adaptif, relevan, dan masuk akal bagi dinamika kehidupan umat manusia. Keyakinan bahwa Tuhan tidak memberatkan hamba-Nya tercermin dalam firman-Nya yang menyatakan keinginan akan kemudahan, bukan kesulitan.

Dalam upaya mengamalkan ajaran agama, berbagai mazhab hadir sebagai metodologi penerapan yang kaya. Namun, di era informasi yang serba cepat ini, umat Islam yang menghadapi kompleksitas kehidupan sosial dan profesional mungkin menemukan manfaat dengan menelisik perspektif praktis dari mazhab lain. Langkah ini tidak berarti berpindah keyakinan, melainkan lebih kepada memperkaya pemahaman dan mencari solusi yang mungkin terlewatkan.

Dengan latar belakang pemikiran ini, mari kita coba menelaah salah satu tradisi pemikiran Islam yang mungkin belum banyak dikenal luas: mazhab Syiah. Alih-alih melihatnya sebagai entitas yang terpisah, kita dapat mendekatinya sebagai bagian tak terpisahkan dari kekayaan intelektual Islam. Di dalamnya, mungkin tersimpan pandangan-pandangan yang relevan dan progresif dalam menjawab tantangan zaman kontemporer.

Melalui beberapa contoh spesifik, kita akan melihat bagaimana fikih Syiah menawarkan sudut pandang yang unik dan berpotensi memperkaya pemahaman kita terhadap prinsip-prinsip Islam dalam konteks modern.

Meskipun ajaran doktrin Syian dipandang sesat oleh sebagian kelompok fanatik dan intoleran, ajaran fikihnta menyimpan berbagai perspektif menarik yang patut dipertimbangkan. Mari kita telaah beberapa contohnya:

1. Perceraian: Proses yang Lebih Terstruktur dan Berkeadilan
Dalam hal perceraian, fikih Syiah memberikan penekanan pada perlindungan hak perempuan dengan aturan yang lebih terstruktur:
A. Talak Bertahap: Proses talak tidak dapat diucapkan tiga kali sekaligus dalam satu waktu. Talak ketiga dianggap sah setelah melalui tahapan pertama dan kedua, memberikan ruang bagi refleksi dan mencegah keputusan impulsif yang merugikan.
B.  Hak Istri Menggugat Cerai: Melalui klausul tafwidh dalam akad nikah, seorang istri memiliki hak untuk mengajukan gugatan cerai tanpa harus selalu mendapatkan persetujuan suami.
C. Peran Lembaga Peradilan: Di beberapa negara dengan populasi Syiah signifikan, seperti Iran, seorang suami tidak dapat menjatuhkan talak tanpa adanya persetujuan dari pengadilan, kecuali dalam kondisi ekstrem tertentu. Hal ini bertujuan untuk memastikan proses perceraian berjalan adil dan sesuai dengan ketentuan hukum.

Perspektif ini mencerminkan prinsip keadilan dan perlindungan bagi perempuan dalam situasi yang seringkali rentan.

2. Shalat Jamak: Kemudahan dalam Beribadah di Tengah Kesibukan
Mengenai shalat jamak (menggabungkan dua waktu shalat), fikih Syiah memberikan kelonggaran yang lebih luas dibandingkan pandangan yang umumnya dianut oleh mazhab Sunni. Shalat jamak diperbolehkan tanpa adanya batasan kondisi seperti perjalanan jauh atau keadaan darurat. Implikasinya adalah:
A. Pekerja dengan jadwal padat dapat melaksanakan shalat tanpa terbebani keterbatasan waktu.
B. Masjid-masjid dalam komunitas Syiah seringkali menyediakan waktu khusus untuk shalat jamak, memudahkan jamaah dalam menunaikan ibadah.
C. Rentang waktu Maghrib yang lebih panjang (hingga menjelang tengah malam menurut sebagian ulama Syiah) memberikan fleksibilitas bagi individu dengan jadwal kerja tidak teratur, seperti pilot, dokter, atau pekerja shift malam, untuk melaksanakan shalat tanpa terburu-buru.

Fleksibilitas ini menunjukkan pengakuan terhadap realitas kehidupan modern dan upaya untuk mengakomodasi kebutuhan ibadah di tengah kesibukan.

3. Batasan Aurat Pria: Perspektif yang Lebih Luas
Dalam hal batasan aurat bagi pria, fikih Syiah umumnya membatasinya pada area kemaluan serta dubur. Hal ini berbeda dengan pandangan Sunni yang umumnya menetapkan batasan dari pusar hingga lutut. Dampak dari perbedaan ini terlihat dalam beberapa aspek kehidupan:

A. Atlet, seperti pemain sepak bola, dapat beraktivitas dengan lebih leluasa tanpa perlu khawatir melanggar batasan aurat.
B. Pekerja lapangan yang bekerja di kondisi panas dapat bergerak lebih nyaman tanpa terhambat oleh pakaian yang terlalu tertutup.

Perspektif ini menunjukkan adanya ruang interpretasi yang berbeda dalam memahami batasan aurat dengan mempertimbangkan kemudahan dan kebutuhan aktivitas.

4. Operasi Ganti Kelamin: Pertimbangan Medis dan Syariat
Fikih Syiah, khususnya dalam tradisi Ja'fari, memberikan ruang bagi pertimbangan operasi ganti kelamin (taghayyur al-jins) dengan persyaratan yang ketat. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa intervensi medis diperbolehkan jika bertujuan untuk menghilangkan penderitaan, seperti disforia gender, atau memperbaiki cacat bawaan. Di Iran, misalnya, operasi ini diakui secara hukum dan agama setelah melalui proses diagnosis medis dan persetujuan dari otoritas agama.
Syarat Utama:
A. Adanya rekomendasi dari psikolog dan dokter yang kompeten.
B. Tujuan operasi adalah untuk mengatasi konflik identitas yang mengganggu kesehatan mental, bukan sekadar keinginan sesaat.
C. Proses transisi dilakukan secara bertahap dan tidak melanggar hak-hak orang lain.

Kebijakan ini mencerminkan upaya fikih Syiah dalam merespons perkembangan ilmu kedokteran sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat. Meskipun masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan, langkah ini menunjukkan bagaimana agama dapat berdialog dengan ilmu pengetahuan.

5. Hak Waris Perempuan: Mekanisme Alternatif untuk Keadilan
Dalam hukum waris Islam yang umum dikenal, bagian waris perempuan biasanya setengah dari bagian laki-laki. Namun, fikih Syiah menawarkan mekanisme alternatif untuk memastikan keadilan dalam pembagian waris:
A. Hibah Sebelum Pembagian Waris: Orang tua diperbolehkan memberikan sebagian harta kepada anak perempuan melalui hibah (pemberian) sebelum meninggal dunia, di luar sistem waris yang berlaku. Ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi potensi ketidaksetaraan, terutama jika perempuan tersebut tidak memiliki suami, berpenghasilan rendah, atau memiliki tanggungan.
B. Warisan Penuh Tanpa Saudara Laki-Laki: Jika seorang perempuan tidak memiliki saudara laki-laki (baik kandung maupun sepupu dari pihak ayah), ia berhak menerima seluruh harta warisan. Aturan ini berbeda dengan pandangan yang umum dalam mazhab Sunni yang biasanya membagikan sisa harta kepada kerabat laki-laki yang lebih jauh ('asabah).

Praktik ini sering ditemukan di komunitas Syiah Lebanon, di mana keluarga menggunakan mekanisme hibah untuk memastikan anak perempuan memiliki akses ekonomi yang setara.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa fikih dapat bersifat adaptif tanpa kehilangan landasan etikanya.

Kekayaan fikih Syiah mengajak kita untuk melampaui dikotomi biner seperti "konservatif vs liberal" atau "tekstual vs kontekstual". Ia menawarkan pendekatan yang berupaya untuk tetap setia pada prinsip-prinsip agama sambil menggunakan metodologi yang relevan dengan perkembangan zaman.

Bagi umat Muslim yang mungkin merasa berada di antara tuntutan modernitas dan interpretasi agama yang konvensional, menelusuri khazanah mazhab Syiah sebagai perspektif komplementer dapat memberikan jawaban dan solusi yang berharga. Islam, dengan keragaman perspektif di dalamnya, laksana burung rajawali yang terbang dengan kokoh menggunakan kedua sayapnya. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Imam Sadiq, "Agama bukanlah sesuatu yang engkau paksakan kepada manusia, tetapi sesuatu yang engkau hidupkan bersama mereka."

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML