Kata itu sendiri—"berbagi"—menggantung seperti lelucon keji di ruang pengadilan sejarah. Ini bukan sekadar paradoks; ini adalah pengkhianatan telak terhadap nurani kemanusiaan yang paling dasar. Perampasan tanah bukanlah transaksi dagang; ia adalah dosa kolektif terhadap jiwa sebuah bangsa, pengingkaran brutal terhadap hak asasi yang seharusnya suci dan tak tersentuh.

Memaksa korban duduk di meja yang sama dengan pelaku, menawar-nawarkan serpihan tanah yang sejatinya milik mutlak mereka—ini adalah tarian paksa di atas kuburan keadilan. Setiap langkah kompromi adalah injakan baru di atas puing-puing hak yang telah direnggut. Ini jauh melampaui ketidakadilan; ini adalah pengakuan kotor bahwa hukum rimba berlaku: kekuatan, bukan kebenaran, yang menentukan akhir cerita.

Dengan memaksa penerimaan "sebagian" dari rampasan, kita mengukir stempel legitimasi pada kejahatan itu sendiri. Kita membangun preseden mengerikan: bahwa pelanggaran hukum, jika dilakukan dengan cukup bengis dan perkasa, akan menuai piala kemenangan. Tragedi ini menyeret korban menjadi pemain paksa dalam drama kekejaman yang menindas mereka. Mereka dipaksa menelan pil pahit—menerima bahwa sebagian dari tanah air, sejarah, bahkan jati diri mereka, harus lenyap demi sebuah "solusi" yang sesungguhnya adalah monumen kegagalan moral.

Dibalut retorika negosiasi nan anggun, sang perampas kerap menemukan celah untuk mengubah jarahan haram menjadi harta sah di mata hukum. Inilah cermin retak kegagalan sistemik—negara dan hukum yang mengkhianati yang lemah, memaksa korban berkorban *kembali*, menanggung beban ketidakmampuan sistem mengembalikan apa yang dicuri. Sungguh, ironi paling pedih: "Keadilan restoratif" yang mulia, yang bernafas mengembalikan hak, justru dikubur hidup-hidup di bawah retorika "penyelesaian" yang timpang dan penuh kepalsuan.

Yang membuat posisi korban makin absurd adalah sikap pemimpin negara-negara yang konstitusinya menjeritkan penentangan terhadap penjajahan, kemerdekaannya justru diakui oleh bangsa Palestina sebagai korban perampasan, dan rakyatnya sendiri bergemuruh mendukung perjuangan kemerdekaan yang adil—namun mereka latah berdiri di barisan pendukung "dua negara".** Bagi bangsa Palestina—yang tanah airnya direnggut, sejarahnya dihapus, dan masa depannya dijajah—pendirian Israel dan pendudukan berikutnya adalah perampasan berskala bencana. Dalam kerangka ini, solusi dua negara yang diagung-agungkan sebagai jalan perdamaian, sering terasa seperti pengesahan parsial atas penjarahan itu sendiri.

Palestina, sang korban, dipaksa menerima serpihan tanah yang tercecer dari warisan leluhur mereka yang utuh. Sementara itu, sang perampas tak hanya mempertahankan dominasi, tapi terus melanggengkannya melalui ketimpangan kekuatan negosiasi yang mencekik, nestapa jutaan pengungsi yang hak pulangnya diinjak-injak, dan ekspansi permukiman ilegal yang bagai kanker ganas. Jika "solusi" akhirnya mengakui permukiman haram itu—bukankah itu mahkota kemenangan bagi pelanggar hukum internasional? Bukankah itu pengakuan bahwa kejahatan membuahkan hak?

Gagasan "berbagi tanah" ini, pada hakikatnya, bukan anak kandung keadilan sejati. Ia lebih sering menjadi bendera putih keputusasaan, di mana yang lemah dipaksa menunduk, merelakan luka sejarah demi fatamorgana stabilitas. Ingatlah ini: Keadilan sejati tidak lahir dari meja kompromi yang penuh todongan. Ia lahir dari keberanian membongkar ketidakadilan sampai ke akarnya, mengembalikan apa yang dirampas—utuh, tanpa syarat, tanpa basa-basi.

Hanya dengan pengembalian yang total dan penuh martabat itu, tanah yang telah menangis darah kering selama puluhan tahun bisa kembali bernafas lega. Hanya di sanalah hati yang terkoyak-koyak oleh pengkhianatan sistemik bisa mulai menyulam kembali harapan. Jangan lagi kita menyebut penguburan hak sebagai "berbagi". Sebut ia sebagai apa adanya: pengkhianatan terakhir terhadap mereka yang telah terlalu lama dikhianati. Kebenaran tidak meminta separuh. Keadilan menuntut kepenuhan.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML