Banyak orang membonsai pengertian rezeki.
Banyak orang membatasi pengertian rezeki pada hal-hal yang fisikal seperti makanan, kendaraan dan sebagainya.
Padahal rezeki juga meliputi metafisikal seperti iman, pengetahuan dan optimisme.
Iman yang membakar semangat, pengetahuan yang membuka cakrawala, dan optimisme yang mengubah kegelapan menjadi pelangi—itu semua adalah rezeki yang tak ternilai. Ia tak berbentuk, tapi kekuatannya mampu menggerakkan gunung-gunung keputusasaan.
Banyak orang membatasi pengertian rezeki pada hal-hal yang dinikmati seperti ketenangan, kenyamanan dan sebagainya,
Padahal rezeki juga meliputi yang dihindari seperti kesulitan, kesempitan, kekurangan sebagainya.
Kesulitan yang memaksa kita tumbuh, kesempitan yang mengajarkan kesabaran, atau kekurangan yang membuka mata akan pentingnya rasa cukup adalah rezeki yang sering datang menyamar sebagai badai—kita hanya perlu melihatnya dengan kaca mata kebijaksanaan.
Banyak orang membatasi pengertian rezeki pada hal-hal yang baru diperoleh seperti laba, prestasi dan sebagainya.
Padahal rezeki juga meliputi apa-apa yang telah diperoleh sejak semula seperti kelahiran, perhatian dan kasih sayang orangtua dan sebagainya. Kelahiran kita sebagai manusia, kasih sayang orangtua mengalir yang tanpa jeda, atau udara yang selalu setia mengisi paru-paru adalah rezeki paling fundamental. Itu semua hadir sebelum kita meminta, seperti matahari yang terbit tanpa diminta.
Banyak orang membatasi pengertian rezeki pada hal-hal yang disadari, dirasakan dan diketahui seperti kesehatan, kesembuhan, kebahagiaan dan sebagainya.
Padahal rezeki juga meliputi kondisi dan keadaan yang tak disadari, tak dirasakan dan tak diketahui seperti hukum alam, kausalitas, hukum lingkungan sosial, bakat, karakter dan sebagainya.
hukum alam yang menjaga keseimbangan semesta, karakter yang membentuk kepribadian, atau kausalitas yang mengikat setiap tindakan dengan konsekuensi adalah rezeki proses yang bekerja dalam keheningan, seperti angin yang tak terlihat tapi menggerakkan kapal-kapal kehidupan.
Banyak orang membatasi pengertian rezeki pada hal-hal yang dianggap sebagai hasil doa dan ibadah seperti kemudahan hidup karena bersedekah, perjumpaan dengan pasangan hidup setelah bernazar atau didoakan oleh seseorang atau mendapatkan anak setelah membaca teks-teks suci dan melaksanakan amalan tertentu.
Padahal rezeki juga meliputi hal-hal dan situasi yang dilalami tanpa diminta dan tanpa diawali dengan amalan tertentu seperti perjumpaan tanpa rencana yang berlanjut menjadi persahabatan yang baik dan saling memberi manfaat dan sebagainya.
Pertemuan dengan seseorang yang mengubah hidup, atau kesempatan tiba-tiba yang datang seperti hujan di musim kemarau adalah rezeki yang tak selalu memerlukan syarat—kadang ia datang sebagai hadiah tanpa label, hanya untuk mengingatkan kita: Tuhan melalui Semesta selalu mendengarmu, bahkan saat kau diam."
Seringkali, apa yang dianggap "kenikmatan" justru adalah perangkap yang berbalut sutra kemewahan yang melenakan, pujian yang membius, atau kekuasaan yang menggerogoti nurani. Ia bagai anggur manis yang memabukkan, lalu menjerumuskan jiwa ke dalam penjara kesombongan atau cemooh sejarah. Rezeki jenis ini adalah ujian terselubung: Apakah kita cukup bijak untuk menikmati tanpa terikat, atau justru tenggelam dalam ilusi bahwa dunia bisa dimiliki?
Tak semua yang kita pinta selaras dengan cetak biru jiwa kita. Ada yang memohon harta, tapi karakter lemah menjadikannya racun. Ada yang mendamba tahta, tapi kapasitas hati tak sanggup menanggung berat mahkota.
Rezeki yang dipaksakan seringkali berakhir sebagai petaka: ia mengoyak jati diri, mengubur integritas, dan meninggalkan kita telanjang di tengah puing-puing kehancuran. Di sini, rezeki mengajar: bukan tentang mendapat apa yang diinginkan, tapi merindukan apa yang telah ditakdirkan untuk membesarkan jiwa.