Seorang sarjana dengan IPK tinggi dan siap bekeja dengan dedikasi tinggi serta lulus tes akademik dan psikologi kehilangan hak bekerja sesuai bidang keahilannya dalam sebuah perusahaan perbankan atau layanan IT hanya karena tidak memenuhi satu syarat: "berpenampilan menarik" (tidak sesuai standar kesempurnaan estetik) atau tidak berkatakter (karena bentuk wajah dan struktur tubuh tidak mencerminkan karakter positif menurut fisiognomi). (Ini hanya ilustrasi).
Karena penampilan menarik (sesuai standar stereotip tertentu) dianggap lebih diperlukan, pengetahuan direndahkan dan industri kosmetik dan vermak wajah pun berjamur.
Stereotipe di atas mencerminkan diskriminasi sistematis yang mengorbankan meritokrasi (penilaian berdasarkan kemampuan). Menolak kandidat kompeten karena penampilan adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan.
Selaim itu, "menarik" adalah predikat yang dibentuk oleh stereotip, opini subjektif yang relatif bahkan artifisial. Karenanya, jika perusahaan terus memakai standar usang ini, maka ia hanya akan diisi oleh wajah-wajah menarik dengan otak kosong.
Belakangan ini juga mulai digemari sebuah pandangan bahwa bentuk wajah (ukuran dan bentuk juga posisi mata, telinga, hidung, bibir dan lainnya) mencerminkan perikaku, karakter dan sifat terdalam seseorang. Banyak orang mempercayainya seakan teori saintifik yang valid dan pasti benar.
Pandangan ini merupakan kelanjutan dari fisiognomi (ilmu wajah) dan frenologi (studi bentuk tengkorak) abad ke-18 yang sudah dibantah oleh sains modern. Keduanya pernah digunakan untuk membenarkan rasisme, misalnya: misalnya anggapan tubuh pendek menandakan keicikan dan dahi lebar menandakan kecerdasan.
Kepribadian adalah hasil interaksi, pengasuhan, pendidikan, budaya, dan pengalaman membentuk karakter.
Selain itu, tidak ada gen atau bukti biologis yang menghubungkan bentuk wajah dengan kepribadian. Studi genetik (Human Genome Project) membuktikan DNA hanya mengatur fisik, bukan sifat psikologis. Wajah dan tubuh ditentukan oleh genetik, bukan keinginan individu. Tidak adil menilai seseorang dari sesuatu yang tidak bisa ia pilih.
Lalu mengapa justru banyak orang di era super modern ini mempercayai sains palsu ini?
1. Bias Kognitif:
- Halo Effect: Orang (yang ditetapkan menurut industri estetika) sebagai tampan/cantik dianggap lebih baik secara otomatis.
- Confirmation Bias: Jika ada orang berwajah "galak" ternyata kasar, pseudo sains dianggap benar, tapi diabaikan jutaan kasus sebaliknya.
2. Eksploitasi Komersial:
- Bisnis kecantikan, *coaching* karir, atau bahkan politik memanfaatkan ketakutan orang akan penampilan.
3. Kemalasan Mental:
- Lebih mudah menilai orang dari wajah daripada memahami kompleksitas kepribadiannya.
- Melihat wajah eorang lebih mudah daripada menganalisa dan membaca pikiran melalui komunikasi.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML