Pernah mendengar tausiyah tentang anjuran kepada ayah mengembalikan anak perempuannya yang keluar rumah tanpa izin suami ke suami karena suami sebagai qawwam (pemimpin)?

Konon dasarnya adalah teks : "Andai aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada makhluk, aku akan menyuruh istri bersujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad).

Bagaimana bila dia keliuar dari rumah karena keperluan mendesak atau karena mengalami kekerasan dari suami atau suami tidak memberikan nafkah? Apakah kepatuhan kepada suami itu mutllak atau terbatas dan bersyarat?

Dalam labirin interpretasi ajaran Islam, satu isu yang tak lekang dimakan zaman adalah batas-batas ketaatan seorang istri terhadap suaminya, terutama ketika menyangkut kebebasan bergerak keluar rumah.

Dua arus utama pemikiran Islam, Sunni dan Syiah, memiliki lanskap pandangan yang menarik untuk diulik. Meski berakar pada kitab suci Al-Qur’an dan jejak langkah Nabi Muhammad SAW (Hadis), penekanan dan pemahaman keduanya menghadirkan perbedaan yang cukup signifikan, mewarnai kehidupan rumah tangga muslim di berbagai belahan dunia.

Mayoritas umat Islam di negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, hingga Indonesia, mengikuti mazhab Sunni. Dalam perspektif ini, Surah An-Nisa ayat 34 seringkali menjadi fondasi utama. Ayat yang menyebut suami sebagai qawwam (pemimpin) atas istri ditafsirkan memberikan otoritas yang cukup luas kepada kaum pria, termasuk dalam hal mengatur mobilitas pasangannya. Beberapa hadis, seperti riwayat Imam Bukhari yang eksplisit menyatakan, "Istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suaminya," memperkuat pandangan ini. Ulama klasik Sunni, semisal Ibnu Katsir, bahkan menekankan bahwa izin ini adalah sebuah kewajiban, terkecuali untuk urusan-urusan mendesak seperti mencari pengobatan atau membantu keluarga yang tengah kesulitan.

Dalam praktik, aturan ini seringkali menempatkan suami pada posisi "pemegang kunci" atas setiap langkah istrinya di luar rumah. Ambil contoh seorang istri di Jakarta yang bercita-cita melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri. Menurut mazhab Hanbali yang dominan di Timur Tengah, ia wajib mengantongi restu sang suami. Jika izin tak didapat, sang istri dianggap melakukan nusyuz, sebuah istilah yang merujuk pada pembangkangan dan berpotensi merusak keharmonisan biduk rumah tangga.

Mayoritas ulama Sunni menafsirkan konsep qawwamah dalam An-Nisa 34 sebagai justifikasi otoritas yang cukup dominan bagi suami. Hadis yang diriwayatkan Bukhari, yang melarang istri keluar rumah tanpa izin suami, menjadi landasan kuat bagi pembatasan mobilitas kaum Hawa, terkecuali dalam kondisi genting.

Para para ulama Sunni Klasik :
1. Al-Ghazali (w. 1111 M) pernah mewajibkan istri untuk taat pada suami dalam segala hal yang tak melanggar syariat. Baginya, keluar rumah tanpa izin adalah dosa besar, kecuali darurat. Perspektif ini jelas menempatkan istri dalam posisi subordinat.
2. Ibn Qudamah (w. 1223 M), seorang ulama Hanbali, bahkan menyebut istri yang keluar tanpa izin sebagai nusyuz (pembangkang) dan membolehkan suami "mendidiknya" dengan nasihat, menjauhi ranjang, bahkan pukulan simbolis (tanpa menyakiti). Namun, ia juga mengakui bahwa ketaatan gugur jika suami berlaku zalim atau menelantarkan nafkah. Ini secercah keadilan dalam lautan kepatuhan.
3. Asy-Syafi'i (w. 820 M) pun tak kalah tegas, melarang istri keluar kecuali untuk urusan mendesak seperti berobat atau menolong orang tua, dengan suami berhak melarang jika dilanggar.

Pandangan konservatif di atas dikuatkan kembali oleh hamoir sebagian besar ulama kontemporer Sunni, termasuk Wahbah Az-Zuhaili (w. 2015 M) dalam "Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu", Izin suami diperlukan untuk menjaga keharmonisan, tetapi istri berhak menolak jika suami melanggar haknya, seperti tidak memberi nafkah atau melakukan kekerasan.”

Namun, Yusuf Al-Qaradawi (w. 2022 M), meski tidak punya pengaruh efektif terhadap umat karena bukan pendiri mazhab, bepandangan  bahwa qawwamah bukanlah tirani. Suami wajib bermusyawarah dengan istri, dan larangan keluar rumah hanya dibenarkan jika ada risiko fitnah atau pengabaian tanggung jawab keluarga. Ini adalah langkah maju menuju pandangan yang lebih kontekstual.

Berbeda dengan Sunni, mazhab Syiah membatasi otoritas suami hanya pada tiga ranah privat: hubungan intim, larangan memasukkan orang asing tanpa izin, dan hak atas harta istri. Di luar itu, istri memiliki otonomi penuh atas dirinya.

Pandangan Para Ulama Klasik Syiah:
1. Ath-Thusi (w. 1067 M) berpendapat bahwa istri tak wajib meminta izin suami untuk keluar rumah, kecuali jika tindakannya merugikan hak suami yang sah, misalnya menelantarkan kewajiban rumah tangga yang telah disepakati. Izin hanya relevan dalam konteks spesifik, bukan untuk setiap gerak-gerik istri.
2. Al-Hilli (w. 1325 M) lebih tegas lagi, menyatakan bahwa ketaatan istri hanya terbatas pada hak-hak suami yang ditetapkan syariat. Di luar itu, istri berhak menentukan jalannya sendiri. Ia membedakan antara urusan ranjang dan urusan publik, di mana istri memiliki kebebasan.

Ulama Syiah kontemporer semakin memperjelas batasan ini:
1. Ayatullah Sistani (lahir 1930), faqih terkemuka Syiah, memfatwakan bahwa istri boleh bekerja, belajar, atau bepergian tanpa izin suami asalkan tidak mengabaikan tanggung jawab domestik yang telah disepakati. Ini adalah pengakuan eksplisit atas hak perempuan untuk berpartisipasi aktif di ruang publik.
2. Imam Khomeini menegaskan Qawwamah adalah kewajiban suami untuk menjamin hak-hak istri, bukan alat untuk mengekang kebebasannya." (Tahrir al-Wasilah, Jilid 2). 
3. Ayatullah Murtadha Mutahhari (w. 1979), seorang intelektual Syiah modern, menekankan bahwa ketaatan istri hanya berlaku jika tindakannya merusak hak suami yang sah. Di luar itu, istri adalah individu yang merdeka.
3. Ayatullah Ibrahim Amini dalam "Khanevadeh dar Islam" menegaskan bahwa usyawarah adalah fondasi keluarga. Suami tidak boleh memaksakan kehendak tanpa alasan syar’i."
5. Ayatullah Khamenei mengatakan: "Kepemimpinan suami harus dijalankan dengan musyawarah (syura). Istri bukanlah bawahan, tetapi mitra dalam mengatur rumah tangga." (Ajwibat al-Istifta’at, Soal No. 1124). 

Akar sejarah dan konteks sosial memainkan peran penting. Sunni tumbuh di masyarakat Arab abad ke-7 yang patriarkis, di mana mobilitas perempuan seringkali dikaitkan dengan potensi hilangnya kehormatan keluarga. Sebaliknya, Syiah, yang sering menjadi minoritas tertindas, mengembangkan resistensi terhadap segala bentuk otoritas absolut, termasuk dalam relasi suami-istri.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML