Sering kali, nalar kita terkungkung oleh kesalahpahaman yang mengakar: bahwa pusat keagamaan suatu mazhab otomatis mencengkeram dan mendefinisikan seluruh identitas kebangsaan penganutnya. Ini adalah ilusi optik yang perlu kita pecahkan. Vatikan, sebagai jantung Katolik, tidak lantas mengubah setiap umat Katolik di belahan dunia menjadi warga negara Vatikan. Begitu pula, meskipun pusat Salafi berada di Arab Saudi, Sunni di Mesir, atau Syiah di Iran, hal itu sama sekali tidak melunturkan identitas lokal atau kebangsaan penganutnya. Agama, pada hakikatnya, adalah identitas universal yang melampaui segala batas geografis dan etnis, termasuk di dalamnya berbagai mazhab yang bernaung. Menjadi Sunni, Salafi, atau Syiah tidaklah menghapus jati diri lokal atau kebangsaan seseorang; justru ia menambah kekayaan pada kain identitasnya.

Di Indonesia, identitas seorang Muslim—baik ia Sunni, Salafi, maupun Syiah—terjalin dari tiga lapisan fundamental yang saling melengkapi dan menguatkan:
1. Identitas Keislaman (Keumatan Makro): Ini adalah ikatan universal yang menyatukan seluruh umat Islam di dunia, melampaui mazhab, budaya, atau batas wilayah. Ia menegaskan solidaritas global, sebuah persaudaraan yang melingkupi semua Muslim sebagai satu komunitas besar. Ini adalah napas pertama yang kita hirup sebagai bagian dari ummah.
2. Identitas kemazhaban (Keumatan Mikro): Identitas ini merujuk pada kekhasan ajaran dan praktik dalam mazhab tertentu, seperti Sunni, Salafi, atau Syiah. Namun, perlu dicamkan: otoritas mazhab bersifat lintas negara, bukan penjara identitas. Seorang Muslim Syiah di Indonesia, misalnya, adalah Indonesia seutuhnya, beridentitas kuat sebagai bagian dari bangsa ini, meskipun pusat keilmuan Syiah global berada di Iran. Mereka adalah Muslim Syiah yang bangga merajut keislaman mereka di bumi Nusantara.
3. Identitas Kebangsaan: Sebagai warga negara Indonesia, seorang Muslim—apa pun mazhabnya—terikat pada hak dan kewajiban sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa ini. Mereka lahir, tumbuh, dan menghirup udara Indonesia, memegang paspor Indonesia, serta memiliki identitas personal yang mencerminkan kearifan lokal dan nilai-nilai luhur Nusantara. Ini adalah akar tempat mereka berpijak.
4. Identitas Kemanusiaan: Di atas semua lapisan identitas—agama, mazhab, dan kebangsaan—terdapat satu identitas yang jauh lebih agung, sebuah payung universal yang menyatukan seluruh umat manusia: kemanusiaan. Identitas inilah yang mendorong kita untuk mengedepankan nilai-nilai fundamental seperti kasih sayang, empati, keadilan, dan saling menghormati, tanpa terhalang oleh perbedaan keyakinan atau latar belakang. Kemanusiaan mengajak kita memperkuat persatuan dan mewujudkan potensi terbaik sebagai bagian dari keluarga besar umat manusia.

Pemahaman mendalam tentang keempat lapisan identitas ini memungkinkan seorang Muslim, termasuk penganut Syiah, untuk menjalani kehidupan yang selaras dan bermakna. Mereka dapat menyeimbangkan tuntutan keislaman, kekhasan mazhab, dan kecintaan pada bangsa. Identitas kebangsaan, khususnya, memanggil mereka untuk menjaga harkat dan martabat bangsa, serta berkontribusi positif bagi kemajuan masyarakat Indonesia.

Menjadi bagian dari mazhab tertentu sama sekali tidak berarti harus membabi buta menerima setiap inisiatif yang datang dari luar, bahkan jika berasal dari pihak yang semazhab. Bagi komunitas Syiah di Indonesia, penting untuk menegaskan otonomi dalam menentukan arah dan bentuk kegiatan keagamaan mereka.

Alasannya sangatlah gamblang dan mendasar: hanya masyarakat lokal yang memahami budaya, tantangan, dan dinamika sosial Indonesia secara mendalam. Kegiatan keagamaan haruslah selaras dengan nilai-nilai kebangsaan dan kearifan budaya Nusantara agar relevan, bermaslahat, dan harmonis. Otonomi ini bukanlah penolakan terhadap nilai-nilai sakral atau upacara khas Syiah itu sendiri, melainkan sebuah penegasan identitas keindonesiaan dan kedaulatan komunitas dalam mengelola urusan internalnya.

Langkah ini menjaga kemurnian niat, relevansi konteks, dan keberlanjutan keharmonisan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Komunitas tak lagi hanya sibuk mengidentifikasi diri sebagai Syiah semata, melainkan bergerak dengan kesadaran penuh sebagai Muslim, sebagai Syiah, dan sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Banyak tantangan telah dan akan dilalui oleh komunitas ini dalam episode-episode penuh tragedi dan ironi. Kini sebagian relawan sedang berjuang mendorong konsolidasi, memperkuat semangat domestikasi dan menyatukan dua identitas kesyiahan dan keindonesiaan demi membuktikan diri sebagai Syiah Indonesia, bukan hanya Syiah.

Setiap tamu asing patut dihormati sambil dibisiki bahwa tuan rumah lebih mengetahui isi rumah.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML