Keberadaan manusia sering kali terjepit dalam dialektika antara yang transenden dan yang imanen, antara nilai-nilai universal yang melangit dan realitas partikular yang membumi. Dalam ruang ini, identitas keumatan—seperti Kesyiahan—dan identitas kebangsaan—seperti Keindonesiaan—bukanlah dua kutub yang saling menegasi, melainkan dua dimensi yang saling mengisi, seperti udara dan tanah yang memberi napas dan pijakan pada kehidupan.
Kesyiahan, sebagai tradisi iman, adalah arus sungai yang mengalir dari sumber yang sama: kerinduan manusia pada kesucian, keadilan, spiritualitas, dan ketulusan dalam mengikuti teladan. Ia bukan milik geografi dan etnis tertentu, bukan produk budaya satu peradaban, melainkan suara kolektif yang pernah bergema di gurun pasir Arabia, di majelis filsuf Persia, hingga di ruang diskusi akademisi kontemporer.
Di sisi lain, Keindonesiaan adalah medan amal yang konkret: tempat nilai-nilai iman diuji dan dihidupi. Ia adalah ruang di mana prinsip keadilan harus mewujud dalam sikap kritis terhadap ketimpangan sosial, di mana kesalehan teologis dituntut berpadu dengan kesalehan kosmologis dan antropologis juga geologis.
Identitas kebangsaan adalah mozaik yang dibentuk oleh sejarah kelam kolonialisme, kegigihan para pendiri bangsa merajut Bhinneka Tunggal Ika, hingga dinamika demokrasi yang kerap berdarah-darah.
Di sini, keindonesiaan mengajarkan bahwa iman tanpa aksi nyata adalah laksana burung yang mengklaim mencintai langit, tetapi tak pernah membuka sayapnya.
Pertemuan antara Kesyiahan dan Keindonesiaan melahirkan sintesis yang unik. Ini adalah pertemuan antara kesadaran akan yang sakral (kepatuhan verital kepada agama melalui Nabi dan Ahlul Bait) dan kesadaran akan yang profan (seperti komitmen konsensus Pancasila dan UUD serta kontrak sosial dalam demokrasi) sebagai dua sisi koin yang sama.
Di tengah dunia yang semakin gemar menyempitkan identitas menjadi sekadar label politik atau primordialisme sempit, kota mesti melihat identitas sebagai "proses menjadi" bukan sekadar status atau bahkan klaim supremasi dengan merendahkan identitas bangsa lain. Seperti pohon yang akarnya menghunjam ke bumi Indonesia sambil daunnya menyerap cahaya matahari yang sama yang menyinari seluruh dunia, manusia bisa setia pada dua hal sekaligus: pada iman sebagai eksistensial yang menjulang ke langit, dan pada amal sebagak esensial yang mengakar ke bumi.
Pada akhirnya, identitas bukanlah kuburan yang membekukan diri dalam kotak-kotak kaku. Ia adalah sungai yang terus mengalir, mengambil warna dari tanah yang dilaluinya, tetapi tetap berasal dari sumber yang sama. Menjadi Syiah adalah komitmen pada nilai-niai yang melampaui zaman dan ruang; menjadi Indonesia adalah komitmen merawat mozaik yang inklusif dan berpendar. Indonesia bukan nama dan identitas suku yang terbentuk karena darah dan DNA tapi identitas yang dibangun di atas konsensus, akad kolektif dan kontrak sosial. Di titik temu keduanya, manusia menemukan dirinya utuh: beriman sekaligus beramal, melangit sekaligus membumi, dia umat sekaligus bangsa.
Iran sebagai nama sebuah negara dan identitas sebuah bangsa dengan sejarah dan segala ciri khasnya patut dihormati dan didukung dalam membangun kedaulatan dan melawan penjajahan dan hegemoni global, tapi Iran sebagai institusi negara dan bangsa bukanlah bagian dari iman keagamaan dan kemzhaban yang tak berpaspor.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML