Dalam sebuah pertemuan yang berkesan di Hotel Mulia Senayan, Ketua Parlemen Iran, Dr. Mohammad Bagher Qalibaf, bertemu dengan para tokoh terkemuka dari berbagai ormas Islam, cendekiawan, akademisi, dan aktivis pro-Palestina. Suasana pertemuan diwarnai oleh usulan konstruktif untuk meningkatkan hubungan antara Iran dan Indonesia, tidak hanya sebagai dua negara besar, tetapi juga sebagai representasi dua komunitas Muslim terbesar: Sunni dan Syiah. Apresiasi tinggi juga disampaikan kepada Republik Islam Iran atas dukungan militer, finansial, dan politiknya terhadap Palestina.
Salah satu momen menarik muncul ketika Prof. Amany Lubis, mantan Rektor UIN sekaligus Ketua MUI bidang perempuan, menyampaikan keluhan mengenai minimnya peran perempuan dalam dunia Islam. Menanggapi hal ini, Qalibaf dengan tegas mengecam disinformasi Barat tentang posisi perempuan di Iran. Ia kemudian memaparkan data akurat yang dapat diverifikasi mengenai partisipasi perempuan Iran di berbagai bidang publik, terutama pendidikan, yang bahkan melampaui persentase kaum laki-laki
Kesetaraan dalam pandangan Islam yang diminani oleh Qalbaf bukan sekadar jargon latah "femininisme" tapi telah menjadi doktrin integral yang telah berlaku dalam kehidupan nyata.
Gender bukanlah kebetulan kosong yang berdiri sendiri di ruang vakum realitas. Ia melekat pada manusia sebagai atribut. Di balik label "laki-laki" dan "perempuan", ada substansi tunggal yang tak terbantahkan: kemanusiaan. Inilah aksioma utama: setiap insan mesti dikenali sebagai manusia sebelum dikotakkan melalui konstruksi sosial seperti kontrak budaya, tradisi, atau norma.
Kedirian kita sebagai homo sapiens– makhluk berakal – tidak terkurung dalam kerangkeng biologis atau sosiologis. Laki-laki dan perempuan adalah dua varian dari satu spesies yang sama: manusia. Di sini, kesetaraan bukan sekadar tuntutan etis, melainkan keniscayaan eksistensial. Sebagaimana pisau tetap logam sebelum disebut "parang" atau "samurai", kelaki-lakian dan keperempuanan tidak mengikis hakikat dasar kita sebagai entitas manusia.
Islam menancapkan konsep kesetaraan ini pada akar teologis yang paling dalam. QS. Al-Ahzab:35 bukan sekadar deklarasi, melainkan revolusi linguistik yang mengguncang kultur patriarki Arab abad ke-7: "Sungguh, laki-laki dan perempuan yang muslim, mukmin, taat, jujur, sabar, khusyuk, bersedekah, berpuasa, menjaga kehormatan, dan banyak berzikir – bagi mereka ampunan dan pahala agung."
Allah mengulang frasa "laki-laki dan perempuan" 10 kali dalam satu ayat – teknik retoris "al-Tikrār al-Muqayyad" yang membelah langit diskriminasi. Ayat ini menegaskan prestasi kehambaan ditentukan oleh aksi, bukan jenis kelamin dan bentuk tubuh.
Di tengah masyarakat yang mengubur bayi perempuan hidup-hidup, ayat ini adalah manifesto pembebasan yang menyamakan derajat spiritual kedua gender.
Ketika dunia Arab pra-Islam memperlakukan perempuan sebagai komoditas, Al-Qur’an mengangkat mereka menjadi subjek spiritual yang setara dengan mensucikan Ftimah binti Muhammad dalam ayat 33 surah Al-Ahzab setelah mensucikan Maryam ibunda Isa, mengabadikan Asiysh, istri Firaun sebagai teladan keluhuran tertinggi.
Imam Ali dalam *Nahj al-Balāghah* melengkapi: "Manusia seluruhnya adalah hamba Allah. Yang paling mulia adalah yang paling bertakwa." Pernyataan ini penafsiran resmi atas ayat "Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." (Q.S. Al-Ḥujurāt:13)
Kesetaraan dalam Islam bukanlah produk imporan "feminisme barat", melainkan api teologis yang menyala sejak 14 abad silam. QS. Al-Ahzab:35 adalah mercusuar yang menerangi tiga kebenaran:
1. Spiritual: Pahala/siksa tidak mengenal gender
2. Antropologis: Hakikat insaniyah laki-perempuan satu
3. Sosial: Perbedaan hukum adalah instrumen keadilan, bukan alat penindasan
Di sini, kesetaraan bukan sekadar konsep dan sekadar latah feminisme – ia adalah denyut nadi dari tauhid itu sendiri. Menolak kesetaraan berarti melucuti kemahadilan dari Tuhan.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML
TANPA LATAH FEMINISME
