Dalam dunia modern, "pengetahuan" sering direduksi menjadi sesuatu yang hanya bisa diukur melalui indra—seperti data, eksperimen, atau teknologi. Cara pandang ini berakar pada materialisme, yang menggabungkan epistemologi empirisme (pengetahuan berasal dari pengamatan) dan pragmatisme (nilai pengetahuan ditentukan kegunaan praktis). Di sini, ilmuwan dianggap sebagai "orang pandai" (berpengetahuan) karena kemampuannya mengumpulkan fakta fisik melalui penelitian dengan aneka profesi spesialis, arsitek dan ragam gelar akademis, publikasi ilmiah, atau penguasaan teknologi menjadi tolok ukur utama kepandaian juga kesuksesan dengan privilege-nya.
Namun, di balik kerangka materialistik ini, tersembunyi paradoks: bagaimana mungkin seseorang dengan segudang gelar dan penguasaan sains bisa tetap melakukan korupsi, keserakahan, atau kezaliman?
Jawabannya terletak pada cara lain memandang realitas. Filsafat metafisika, misalnya, menggali hakikat kebenaran melalui perenungan rasional yang abstrak, sementara tradisi mistisisme seperti irfan (dalam Islam) menekankan bahwa pengetahuan sejati (ma’rifah) bukanlah sekadar fakta terindra, melainkan "ketersingkapan" realitas spiritual melalui pemurnian hati.
Pengetahuan dalam makna ini adalah cahaya yang menyinari jiwa, mengubah cara manusia memahami diri, kehidupan, dan hubungannya dengan Yang Maha Tinggi. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
"Sesungguhnya yang takut (khasyyah) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berpengetahuan (ulama)."
(QS. Fāṭir [35]: 28).
Ayat ini mengungkap hakikat "ulama" sejati: bukan mereka yang menguasai data atau gelar, melainkan orang yang hatinya tersentuh oleh kesadaran ketuhanan. Ayat dalam deskripsi profan menjelakan bahwa "sesungguhnya orang-orang yang mengkhawatirkan (kemurkaan Allah) hanyalah orang-orang berpengetahuan (ulama)"
Rasa takut mereka (khasyyah) kepada Allah lahir dari pemahaman mendalam bahwa setiap dosa adalah pengkhianatan terhadap tujuan penciptaan manusia sebagai makhluk mulia. Inilah paradoks yang memilukan: seorang profesor fisika kuantum mungkin dielu-elukan dunia, tetapi jika ia merendahkan orang lain atau serakah, ia tetaplah "bodoh" secara spiritual. Sebaliknya, petani sederhana yang hidup dengan pengendalian diri dan kesadaran batin justru bisa menjadi *ulama*—manusia yang bijak karena mengenal hakikat diri dan Tuhannya.
Taubat, dalam perspektif ini, bukan sekadar ritual permohonan ampun. Ia adalah revolusi kesadaran—proses "bangun dari kebodohan" ketika seseorang menyadari bahwa dosa-dosanya bersumber dari ketidaktahuan akan realitas sejati. Keburukan moral adalah buah dari jiwa yang gelap, belum tersentuh cahaya "ma’rifah" Ilmuwan yang menciptakan senjata pemusnah, politisi licik yang menghalalkan segala cara, atau orang kaya yang menindas, adalah contoh manusia "pintar" yang terperangkap dalam kebodohan spiritual. Mereka mungkin mengetahui hukum alam, tetapi gagal memahami hukum Sang Pencipta. Mereka adalah orang-orang pandir sejati.
Pengetahuan sejati, dengan demikian, adalah pertemuan harmonis antara akal dan hati. Akal memahami mekanisme alam semesta, sementara hati menangkap makna terdalam eksistensi. Seperti dua sayap, keduanya membawa manusia mendekati kebenaran. Tanpa keseimbangan ini, gelar akademis hanyalah topeng kecerdasan semu, sementara kebijaksanaan sejati tetap menjadi rahasia langit yang hanya terbuka bagi hati yang suci. Firman Allah dalam QS. Fāṭir itu mengingatkan: standar kepandaian dalam Islam tak pernah terpisah dari dimensi spiritual. Kebodohan hakiki adalah ketika manusia lupa bahwa ia diciptakan untuk sesuatu yang lebih mulia—bukan sekadar mengejar pengakuan duniawi, tetapi meraih kesadaran akan kehadiran Ilahi dalam setiap helaan napas.
Dengan demikian, pengetahuan punya cakupan yang lebih luas dari sekadar teori fisika dan hukum positif, karena realitas lebih luas dari sekadar proton, elektron, neutron dan benda. Pengetahuan bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mengenal diri dan Pencipta. Ia adalah gradasi kesadaran holistik antara rasionalitas dan spiritualitas, antara akal yang "memahami realitas" dan hati yang "mengalami realitas". Di ujung jalan ini, manusia tidak hanya menjadi ahli dalam sains, tetapi juga menjadi ahli dalam makna—sebuah pencapaian yang mengubahnya dari sekadar "pintar" menjadi *arif*, dari pengumpul data menjadi pecinta kebenaran.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML