Dalam hukum Islam, khususnya dalam khazanah fikih Syiah, kebodohan (al-jahl) tidak dipandang sama rata. Ada perbedaan mendasar antara kebodohan yang dimaafkan dan kebodohan yang dihukum, tergantung kepada penyebab dan konteksnya. Keduanya dikenal sebagai al-Jāhil al-Qāṣir dan al-Jāhil al-Muqassir.
1. Kebodohan karena Keterbatasan (Al-Jāhil al-Qāṣir)
Ini adalah ketidaktahuan yang muncul dari hambatan eksternal di luar kendali individu. Seseorang telah berusaha mencari informasi, tetapi terhalang oleh akses terbatas, sumber yang tidak memadai, atau lingkungan yang tidak mendukung.
Contoh:
* Seorang mualaf yang tinggal di daerah terpencil dan belum mendapatkan bimbingan yang memadai mengenai tata cara salat yang benar. Ia salat dengan gerakan yang kurang sempurna berdasarkan informasi yang sangat terbatas dari tetangga, bukan dari ulama atau buku panduan yang kredibel.
* Seorang Muslimah di negara minoritas Muslim yang tidak memiliki akses ke sumber-sumber fikih Islam. Ia menggunakan metode perhitungan awal bulan Ramadan yang berbeda dari mayoritas ulama karena hanya mengikuti tradisi lokal yang turun-temurun tanpa ada kesempatan untuk belajar ilmu falak atau bertanya kepada ahli fikih.
Faktor Penyebabnya: Minimnya infrastruktur pendidikan agama, isolasi geografis, atau ketiadaan ulama atau sumber informasi terpercaya yang mudah dijangkau.
Konsekuensinya: Kesalahan yang dilakukan bersifat tidak disengaja dan perlu dikoreksi melalui edukasi dan bimbingan, bukan hukuman atau dosa. Amalannya mungkin perlu diulang jika ada kesalahan fundamental, tetapi tidak ada dosa yang dicatat baginya.
2. Kebodohan karena Kelalaian (Al-Jāhil al-Muqassir)
Ketidaktahuan ini terjadi karena sikap acuh atau kemalasan, meskipun sarana untuk belajar tersedia. Individu memiliki kesempatan untuk bertanya, membaca, atau menganalisis, tetapi memilih untuk tidak melakukannya.
Contoh:
* Seseorang yang sudah baligh dan tinggal di lingkungan yang mudah mengakses ulama, masjid, atau buku-buku agama, namun ia tidak pernah berusaha mempelajari rukun wudu atau syarat sah salat. Akibatnya, ia salat selama bertahun-tahun dengan wudu yang tidak sah.
* Seorang pedagang Muslim yang tinggal di kota besar dengan banyak lembaga keuangan syariah dan ulama ahli fikih muamalah. Namun, ia tidak pernah berusaha mempelajari hukum riba atau transaksi syariah yang benar, lalu melakukan akad jual beli yang mengandung unsur riba karena kelalaiannya.
Faktor Penyebabnya: Kurangnya disiplin dalam menuntut ilmu agama, rasa cepat puas, atau mengutamakan kenyamanan jangka pendek daripada mencari kebenaran hukum syariat.
Konsekuensinya: Kesalahan yang timbul bersifat disengaja secara tidak langsung, sehingga pelaku perlu memikul tanggung jawab. Amalan yang rusak karena kelalaian ini wajib diulang, dan ada dosa yang tercatat baginya karena ia tidak memenuhi kewajibannya dalam mencari ilmu.
Dalam fikih, kebodohan tidak bisa dipandang sebagai kesalahan mutlak individu. Ia adalah hasil interaksi kompleks antara:
* Kondisi struktural (seperti kebijakan yang tidak inklusif dalam penyebaran ilmu).
* Sikap personal (seperti kemauan belajar atau kemalasan).
Di luar contoh fikih, terdapat beberapa penyebab kebodohan yang tidak termaafkan (al-jahl al-muqassir). Berikut tiga penyebab kunci:
1. Rasa Malu atau Takut Direndahkan
Individu enggan bertanya atau mengakui ketidaktahuan karena khawatir dianggap bodoh, lemah, atau tidak kompeten. Ini menciptakan siklus: malu bertanya → tetap bodoh → kesalahan berulang → makin malu.
Contoh Nyata:
- Seorang manajer di perusahaan tidak berani menanyakan prosedur keselamatan baru karena takut dianggap "tidak profesional". Akibatnya, timnya bekerja dengan risiko tinggi.
- Seorang mahasiswa tidak mengklarifikasi konsep yang tidak dipahami di kelas karena malu diolok teman. Nilainya anjlok, tetapi ia menyalahkan dosen yang "tidak jelas mengajar".
2. Menyalahkan Orang Lain atas Ketidaktahuan
Individu mengalihkan tanggung jawab kebodohannya dengan klaim seperti "Saya tidak diberi tahu!" atau "Ini salah sistem/orang lain!" Padahal, sebagai pelaku rasional (mukallaf), ia memiliki kewajiban proaktif untuk mencari informasi.
Contoh Nyata:
- Seorang karyawan melanggar aturan perusahaan, lalu berdalih: "HR tidak pernah mengirimkan panduan!" Padahal, dokumen tersedia di intranet.
- Seorang warga tidak mematuhi protokol darurat bencana dengan alasan "Pemerintah tidak sosialisasi!" meski informasi beredar luas di media.
Pola ini mencerminkan mentalitas korban(victim mentality) yang menghindari akuntabilitas. Dalam jangka panjang, kebiasaan menyalahkan eksternal merusak kemampuan kritis dan inisiatif.
3. Persepsi bahwa Pengetahuan Membelenggu Kebebasan
Sebagian orang menganggap bahwa mengetahui hukum, aturan, atau fakta akan membatasi kebebasan bertindak. Mereka memilih tetap bodoh agar bisa berdalih "Saya tidak tahu, jadi tidak salah!".
Contoh Nyata:
- Seorang pengusaha sengaja tidak mempelajari regulasi lingkungan karena takut harus mengubah praktik bisnisnya yang merusak alam.
- Seorang influencer menghindari memverifikasi informasi sebelum membagikan konten, dengan dalih "Kalau tahu faktanya, saya tidak bisa bebas berpendapat!".
Pola ini berdampak negatif:
- Menciptakan masyarakat yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas tanggung jawab sosial.
- Memicu penyalahgunaan kebodohan sebagai tameng untuk pelanggaran.
Memahami perbedaan antara al-Jāhil al-Qāṣir dan al-Jāhil al-Muqassir sangat krusial dalam menentukan pertanggungjawaban hukum dan moral seseorang dalam Islam.
http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML