Darah menggenang di tanah Lebanon. Langit yang dulu dipenuhi nyanyian damai, kini diselimuti asap peluru dan jerit pilu. Israel datang—dengan mesin perangnya yang bengis—merobek-robek nyawa, meratakan infrastruktur, dan meninggalkan luka yang tak terperi. Tapi di tengah reruntuhan itu, ada suara yang tak pernah padam: suara perlawanan. Komunitas Syiah, dengan tekad membara, berdiri di garis depan. Mereka kehilangan saudara, rumah, bahkan nyawa, demi satu prinsip: "Gaza tidak boleh sendiri".
Tapi ironi pahit datang dari dalam. Mereka yang darahnya tumpah untuk mempertahankan tanah air justru dikhianati, dikeroyok oleh sesama anak bangsa—oleh suara-suara sektarian yang sempit, oleh politisi hipokrit yang menjual harga diri untuk kepentingan asing, oleh para pengecut yang lebih memilih berlutut pada tekanan Arab Saudi dan Amerika Serikat. Hizbullah, yang dulu dengan gagah mengusir Israel dari Lebanon, kini didesak untuk menyerahkan senjata. Senjata yang menjadi simbol keteguhan, yang membuat Lebanon—negeri kecil seluas beberapa hektar itu—disegani.
Tanpa Hizbullah, tanpa kekuatan perlawanan, Lebanon hanyalah angka di peta. Tanpa mereka, bangsa ini akan jadi kumpulan pecundang yang hanya bisa mengemis belas kasihan negara adidaya. Tapi di tanah yang tercabik agresi rezim ekspansionis ini, ada rakyat yang memilih tegak daripada berlutut, memilih berdarah daripada diam.
Inilah tragedi umat yang terperangkap dalam kubangan fanatisme usang, individualisme rakus, dan pragmatisme tanpa jiwa. Mereka lupa bahwa kebesaran sebuah bangsa tidak diukur dari jumlah penduduknya, tapi dari keberaniannya mempertahankan kehormatan. Mereka tak sadar bahwa kekayaan sejati negara bukanlah minyak atau emas dan aneka tambang, tapi pemimpin yang pantang didikte oleh adidaya dan rakyat yang tak rela menggadaikan martabat untuk sesuap legitimasi politik.
Lihatlah Lebanon! Di balik puing-puingnya, ia mengajarkan satu pelajaran: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani membayar harga untuk kemerdekaannya—bukan bangsa yang hidup sebagai budak di istana megah, tapi hina di mata sejarah."
Apa yang dialami Hizbullah adalah tragedi bagi orang-orang di Luar Lebanon yang berempati dan mendukung perlawanan, tapi bagi, komunitas Hizbullah, hujatan, fitnah dan pengucilan hanyalah rekaman ulang epos Karbala.