Tak ada yang merasa senang berada di tengah masyarakat yang menolakmu dan menganggpmu asing, pendatang, imigran dan sebutan-sebutan lainnya yang lebih menghunjam.
Tapi apa harus dibilang? Kau merangkak, berjalan, berlari dan merajut hidup bersama orang-orang yang memperlakukanmu sebagai teman bermain di sawah, sungai dan halaman rumah, sebagai teman belajar di sekolah dan di surau juga di kampus hingga di kantor institusi tempatmu bekerja sebagai profesional, perwira atau pegawai negeri atau apapun yang tak lagi penting dan berarti.
Tak ada seorang pun yang memilih berada di sebuah tempat yang tak kini kau coba pahami bukan tempat kelahiranmu, bukan tempat kau pulang, bukan kampung halamanmu, bukan negerimu.
Tapi apa mau dikata? Kau terlahir satu kali, dan karenanya kau hanya punya satu tempat kelahiran.
Meski sejak kecil sering diolok dan dipanggil sebagai hinaan ringan atau candaan "Rab", kau tak mengira hakmu membangun sejarahmu juga asal usulmu dipersoakan, dan orang-orang yang menjadi ayah dari ayah dan kakekmu dihina.
Meski dirundung dan digunjing, kau tak menyangka bahwa kau harus diam, tak membalas, tak berhak menuntut keadilan di negeri yang kau bukan salah satu warga dan pemiliknya, bukan warga juga bukan pelancong.
Meski menerima takdir keunikan tertentu, kau tak mengira hakmu membangun sejarah hidupmu sebagai bagian dari orang-orang yang hidup bersamamu dilucuti dan divonis sebagai pendatang.
Kau lahir di sini, dengan terpaksa, dipaksa oleh alam dan dipersalinkan oleh ibu yang darahnya menetes di tanah ini.
"Pulanglah!" teriak mereka mengusirmu pulang ke tempat yang bukan tempat kelahiranmu, memintamu pulang ke tempat yang kau tak datang dari situ, ke tempat yang penduduknya memperlakukanmu sebagai warga negara asing, pelancong atau pendarang, tak menerima kata "pulang"mu. Kau hanya perlu menanti siaran ulanh dan episode yang sama terulang di situ.
Kau bukan warga negara manapun, bukan bagian dari bangsa apapun. Kau hanya warga bumi dan bagian dari spesies manusia. Terimalah semua cacian dan tuduhan itu. Jangan pernah melahirkan lagi di sini lalu matilah sebagai edisi terakhir sebuah kumpulan yang tak dikehendaki.
Tragisnya, kau terlanjur jatuh cinta kepada negeri yang kau yakini sebagai negerimu. Kau hanya harus tuli agar itu tak terdengar, buta agar itu tak terlihat atau menerimanya sebagai dosa warisan atau kutukan abadi bagimu dan semua keluargamu dan kelompokmu seolah kau tak ada, seolah ini bumi para tuhan, bukan bumi Tuhan.
Tapi jangan larut dalam duka. Jangan pula lupa bahwa orang-orang yang kau lahir di tengah mereka, tumbuh bersama mereka dan mengenalmu juga mencintaimu takkan diam membiarkanmu sendirian menikmati derita ini. Mereka adalah kamu, dan kamu adalah mereka. Bumi ini subur karena darah, peluh dan airmata mereka. Tegarlah!