Islam memang menempatkan kepedulian terhadap anak yatim sebagai amal yang mulia. Al-Qur’an dan hadis berulang kali menegaskan keutamaan menyantuni mereka, bahkan menjanjikan kedekatan dengan Nabi Muhammad SAW di surga bagi yang merawat yatim dengan tulus (HR. Bukhari). Namun, dalam praktiknya, fokus eksklusif pada status "yatim" kerap mengaburkan esensi ajaran Islam yang lebih luas: keadilan sosial, belas kasih universal, dan perlindungan terhadap kaum lemah.

Di sinilah kita perlu merefleksikan kembali makna "yatim" bukan sekadar sebagai label hukum, melainkan sebagai seruan untuk membela setiap anak yang terluka, terpinggirkan, atau terancam hak-haknya—tanpa peduli status orang tua mereka.

Memang benar, anak yatim yang kehilangan ayah berhak mendapat perhatian khusus. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa banyak anak bukan yatim yang nasibnya lebih tragis: mereka menjadi korban perdagangan manusia, dieksploitasi secara ekonomi, atau diabaikan karena kemiskinan, cacat fisik, atau stigma sosial.

Di beberapa daerah, anak-anak dari keluarga miskin dijual oleh orang tua mereka sendiri demi sesuap nasi. Di tempat lain, anak dengan disabilitas dikucilkan bahkan dibuang. Ironisnya, tidak semua anak yatim miskin—sebagian justru memiliki harta warisan yang mencukupi. Lantas, apakah kepedulian kita hanya berhenti pada "status yatim" tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata?

Ini mengingatkan kita pada kritik Al-Qur’an terhadap orang yang beramal tapi lalai pada kepekaan sosial: "Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam salatnya, yang berbuat riya, dan enggan memberi bantuan." (QS. Al-Ma’un: 4-7).

Ayat ini mengecam mereka yang rajin beribadah ritual tetapi abai terhadap penderitaan sesama. Dengan kata lain, merawat yatim adalah bagian dari keimanan, tetapi iman yang utuh harus meluas pada semua bentuk kezaliman yang menimpa anak-anak, terlepas dari status yatim atau tidak.

Penekanan pada anak yatim dalam teks agama tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masyarakat Arab pra-Islam yang patriarkal. Saat itu, kematian ayah—sebagai pencari nafkah dan pelindung—membuat anak yatim rentan kehilangan hak waris, dieksploitasi, atau menjadi budak. Syariat Islam hadir melindungi mereka melalui aturan waris, larangan memakan harta yatim, dan anjuran mengasuhnya. Namun, semangatnya bukan sekadar memuliakan "status yatim", melainkan membangun sistem yang melindungi kelompok rentan dari ketidakadilan.

Jika dahulu ancaman terbesar adalah kehilangan ayah, kini ancamannya lebih kompleks: kemiskinan sistemik, perdagangan anak, pernikahan paksa, dan budaya yang menormalisasi kekerasan terhadap anak. Di sinilah semangat Qur’an harus diterjemahkan secara progresif: setiap anak yang menderita adalah "yatim" secara kontekstual**, karena mereka kehilangan hak dasar sebagai manusia—hak untuk dilindungi, dikasihi, dan dijamin masa depannya.

Merawat yatim dengan memberi sedekah atau mengasuh adalah langkah mulia. Namun, Islam mengajak kita melangkah lebih jauh: memberantas akar masalah yang membuat anak-anak—yatim maupun bukan—terjerembap dalam penderitaan. Rasulullah SAW tidak hanya memberi makan yatim, tetapi juga mengubah sistem masyarakat Mekkah yang opresif menjadi Madinah yang inklusif.

Hari ini, tugas kita adalah menuntut kebijakan negara yang melindungi anak-anak dari perdagangan, memastikan akses pendidikan dan kesehatan gratis, serta menghapuskan praktik eksploitasi ekonomi yang memaksa orang tua menjual anaknya.

Selain itu, masyarakat perlu diedukasi untuk tidak terjebak pada simbolisme. Mengadakan acara buka puasa bersama anak yatim adalah baik, tetapi bagaimana dengan anak-anak jalanan yang bukan yatim? Atau bayi yang dibuang karena orang tuanya tak mampu membiayai? Alih-alih hanya berfokus pada label, mari perluas definisi "kepedulian" dengan membangun rumah perlindungan anak, pusat rehabilitasi korban kekerasan, atau program beasiswa bagi keluarga miskin—tanpa memandang status yatim.

Allah SWT berfirman:
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: 'Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!'" (QS. Al-Baqarah: 220).

Kata "memperbaiki keadaan" (islah) di sini bersifat dinamis. Ia tidak hanya tentang memberi makan, tetapi membenahi sistem yang membuat anak-anak—yatim atau bukan—terpuruk. Setiap anak yang menangis karena kelaparan, setiap bocah yang dipaksa bekerja di usia dini, dan setiap remaja yang dijual ke jaringan prostitusi adalah cermin kegagalan kolektif kita memaknai pesan Qur’an secara holistik.

Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta. Merawat yatim adalah bagian dari rahmat itu, tetapi ia bukan akhir perjalanan. Setiap anak yang terluka—entah karena kehilangan orang tua, kemiskinan, atau ketidakadilan—adalah tangisan yang harus dijawab dengan aksi nyata. Seperti sabda Rasulullah SAW: "Bukanlah orang beriman, siapa yang kenyang sementara tetangganya kelaparan." (HR. Bukhari، Kanz al-Ummal : 24929, Mustadrak al-Wasa’il : 8/429/9897). Jika tetangga saja tidak boleh dibiarkan lapar, apalagi anak-anak yang nasibnya tergantung pada keputusan kita hari ini?

Setiap anak berhak merasakan kasih sayang, keadilan, dan perlindungan—karena di mata Allah, darah mereka lebih mulia daripada gemerlap harta atau formalitas amal kita. Saatnya mengekspansi pengertian di balik setiap frasa dan terma dalam literatur agama agar senantiasa relevan dan adaptis dengan konteks dinamis.