Tikar di rumah lebih baik daripada wanita yang tidak melahirkan. Demi Allah, kamu tidak bergairah!”

(Disclaimer : 1.  Karena yang menjadi objek sorotan dalam tulisan ini adalah pernyataan, bukan pelontarnya, namamya tidak dicantumkan. Peminat bisa menemukannya bila searching; 2. Pernyataan di atas bukan hadis Nabi SAW).

Pernyataan di atas dapat dibagi dalam dua premis :

Pertama :
"Tikar di rumah lebih baik (lebih berguna ) dari wanita (istri) mandul"

Pernyataan di atas bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mencerminkan mentalitas yang merendahkan martabat manusia, pelecehan perempuan dan diskriminasi wanita mandul juga manipulasi publik yang melukiskan kemandulan sebagai kesalahan dan aib.

Jika klaim ini dijustifikasi dengan dalih agama hanya karena pembuat pernyataan terlanjur dianggap sebagai tokoh besar, maka kita sedang menghadapi dua masalah serius: dehumanisasi perempuan dan penyalahgunaan ajaran agama. Bila diabaikan dan dibenarkan, justru telunjuk bisa diarahkan kepada agama itu sendiri.

Mengutamakan perempuan mandul bahkan atas  "tikar di rumah" adalah narasi yang problematic karena: 
1. Dehumanisasi: Komodifikasi Perempuan
Perempuan direduksi menjadi objek reproduksi, bukan manusia utuh dengan hak, perasaan, dan potensi lain. 
2. Stigmatisasi: kutukan
Kemandulan seringkali dianggap sebagai "kutukan", padahal secara medis bisa disebabkan oleh banyak faktor, termasuk dari pihak laki-laki. 
3. Paradoks : Musibah sebagai Dosa
Kemandulan bukanlah kehendak yahg karena tak patut dicela dan direndahkan,
4. Ketidadilan Gender:
Kmandulan tak hanya dialami oleh kaum wanita. Banyak wanita diisukan mandul karena suami yang justru mandul.

Kemandulan bukanlah "kesalahan" atau "dosa", melainkan ujian hidup yang harus dihadapi dengan sabar dan empati. Justru wanita mandul layak memperoleh dukungan dan apresiasi atas ketabahannya mengalami musibah kemandulan.

Kemandulan adalah peristiwa determinan, bukanlah pilihan, bukan perbuatan, bukan aib, bukan kesalahan dan bukan keburukan.

Bayangkan seorang perempuan yang setiap malam menangis dalam doa, merindukan tangisan bayi.  Bayangkan ia dipandang sebagai "cacat" oleh keluarga, kerap diceraikan tanpa alasan yang adil, atau dihina sebagai "tak berguna".  Bayangkan betapa sakitnya ketika martabatnya direndahkan hingga setara dengan benda mati — "lebih buruk dari tikar.

Kesimpulan
Pernyataan "Tikar di rumah lebih baik daripada perempuan mandul” adalah: 
1. Tidak Logis karena berdasar pada analogi yang absurd dan reduksi martabat manusia. 
2. Tidak Etis karena melanggar prinsip kesetaraan, hak asasi, dan empati. 
3. Berbahaya karena memicu diskriminasi dan mengakibatkan kerusakan psikologis. 

Kedua :
"Demi Allah, kamu tidak bergairah!”

Pernyataan di atas mengandung dua stereotip seksme. Seksisme adalah pandangan yang mengukur seseorang (terutama wanita) sebagai entitas seksual atau menilai berdasarkan alat kelamin.

1. Seksisme
Seksisme dalam pernyataan di atas dapat dibagi dalam dua sorotan:
A. Reduksi Perempuan ke Fungsi Biologis:: Mengaitkan gairah dan nilai perempuan semata-mata dengan kemampuan reproduksi. 
B. Stigmatisasi Berdasar Kondisi Fisik: Menganggap kemandulan sebagai "cacat" yang menghilangkan daya tarik perempuan.

Seksisme yang dibedaki dengan justifikasi agama lebih berbahaya dan menyesatkan, karena misi profetik Islam adalah membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan ketidakadilan.

"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu...” (QS. An-Nisa: 1). 

2. Pengagungan Libido
Klaim bahwa gairah suami bergantung pada fertilitas istri adalah mitos patriarki yang tidak rasional, tidak saintifik dan kontra agama.

Gairah dalam hubungan suami-istri dipengaruhi oleh faktor emosional, komunikasi, dan keintiman, bukan fertilitas.

Cinta lebih kuat dari seks atau libido. Gairah tidak bergantung pada fertilitas. Banyak pasangan subur mengalami ketidakharmonisan, sementara banyak pasangan mandul bisa hidup bahagia dengan atau tanpa adopsi.  Fenomena childrless atau chil free mengindikasikan hal itu.

Al-Qur’an memuji pasangan mandul seperti Nabi Zakaria as. dan istrinya (QS. Ali Imran: 38-41, QS. Hud: 72).

3. Dampak Desktruktif
Stereotip ini berpotensi: 
A. Melanggengkan Kekerasan Simbolik: Perempuan mandul dianggap "tidak layak dicintai", merusak harga diri dan kesehatan mental mereka. 
B. Memicu Diskriminasi dalam Pernikahan:** Istri mandul rentan dianggap "tidak berguna", bahkan diceraikan secara semena-mena. 
C. Mengaburkan Tujuan Pernikahan dalam Islam: Yakni membangun sakinah (ketenteraman), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang) (QS. Ar-

Islam tidak mewajibkan setiap perempuan untuk memiliki anak. Nilai perempuan tidak ditentukan oleh rahimnya.

Sebagian perempuan yang tak melahirkan anak adalah ibu karena mendidik anak meski tak lahir dari rahimnya. Sebagian perempuan yang melahirkan anak hanyalah induk karena tak merasa bertanggungjawab untuk mendidiknya. Ibu secara eksistensial adalah perempuan yang mendidik anak, bukan hanya yang melahirkan anak.

Kesimpulan :
Pernyataan "Demi Allah kamu tidak bergairah", siapapun pembuatnya, mengungkap orientasi seksual yang kontra moral.

http://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML