DISKRIMINASI RASIAL DI "NEGARA HUKUM"

DISKRIMINASI RASIAL DI "NEGARA HUKUM"

Diskriminasi adalah tindakan, sikap, atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang atau satu golongan untuk menyudutkan golongan lain.

Perilaku, sikap, dan tindakan menyudutkan ini sendiri dipicu oleh perbedaan  suku, budaya, warna kulit, status sosial hingga agama. Diskriminasi kadang membesar dan menjadi persekusi bahkan kekerasan massal.hingga genosida.

Sejumlah tragedi kemanusiaan telah terjadi di Indonesia. Salah satu peristiwa yang menjadi sejarah kelam bagi Indonesia adalah aksi kekerasan terhadap etnis Tionghoa di sejumlah kota, Jakarta, Medan, Palembang, Solo, Surabaya, dan kota lainnya pada pada 13-15 Mei 1998.

Kerusuhan Mei 1998 meninggalkan kerugian material dan psikis yang sangat besar. Dilaporkan sebanyak 1.217 orang meninggal dunia, 91 orang luka, dan 31 orang hilang dalam peristiwa ini.

Mestinya dalam negara yang didirikan di atas asas yang mengakomodasi semua warga dengan keragaman keyakinan dan asal usul, setiap indidu warga berhak mendapatkan hak setara dalam perlakuan.

Faktanya, diskriminasi kerap dilakukan oleh satu golongan dengan populasi lebih besar ke golongan lain yang populasinya jauh lebih sedikit atau yang biasa kita sebut dengan istilah minoritas.

Diskriminasi kerap diabaikan alias diterima sebagai takdir oleh korban karena merasa kelompoknya lebih kecil dan diabaikan oleh penegak hukum karena pelakunya gemar mencatut nama mayoritas keyakinan dan etnis (sebagai modus tekanan yang diharapkan dapat melumpuhkan hukum) terhadap kelompok tertentu.

Diskriminasi yang dibiarkan begitu saja bisa menyebabkan terjadinya suatu konflik akibat reaksi korban persekusi dan aksi massa yang dianggap membahayakan. Sayangnya, solusi yang sering diberikan oleh aparat cenderung memihak kelompok yang lebih besar dan menghimbau kelompok yang lebih kecil untuk mengalah tanpa penegakan hukum yang adil dengan dalih menjaga stabilitas.

Salah satunya adalah diskriminasi di media umum dan media personal dalam bermacam platform sosial media yang mengangkat berita aksi kriminal seorang warga dengan mengangkat identitas etniknya yang tak terkait sama sekali dengan perbuatannya. Padahal aksi kriminal yang ringan dan yang berat telah dilakukan oleh pelaku dari ragam kelompok keyakinan dan etnis.

Yang juga kerap terjadi adalah penyebaran opini stereotipe yang secara vulgar menghina sebuah kelompok secara total dan general dengan dalih peristiwa partikular dan pengalaman personal dalam aneka konten video yang sarat cacian, provokasi bahkan ancaman serta perkataan yang bertentangan nalar kemanusiaan.

Perbuatan-perbuatan tersebut tentu menciptakan keresahan yang bila dibiarkan justru menimbulkan dampak sosial negatif juga destruktif karena area kerusakan akibat ujaran kebencian tanpa pilih dan pilah sangat luas.

Karenanya, diskriminasi berdasarkan keyakinan dan asal usul ras dan etnis berupa pernyataan atau ujaran kebencian yang ditulis maupun diucap, termasuk penyebutan nama dan istilah yang berkonotasi penghinaan terhadap satu komunitas etnik dan berupa perbuatan atau persekusi dan sebagainya oleh individu maupun kelompok atas nama apapun secara offline dan online dengan alasan apapun termasuk alasan hasil penelitian ilmiah merupakan tindak pidana yang mengancam eksistensi negara dan bangsa sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang.

Pa­sal 156 berbunyi “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pi­dana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ru­piah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau bebera­pa bagian lainnya ka­rena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebang­saan atau kedudukan menurut hukum tata Ne­gara”.

Pasal 157 Ayat (1) KUHP mengatur, “Barang siapa meny­iarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan per­musuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-go­longan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam de­ngan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat rupiah lima ratus rupiah.”

Bahkan diskriminasi rasial secara global sudah diatur dalam International Convention on The Elimi­nation of all Forms of Racial Discrimination 1965 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 29 Ta­hun 1999 tentang Penge­sahan Konvensi Internasio­nal tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Selanjutnya untuk menjamin tidak terjadi kon­flik dan diskriminasi, Indo­nesia membentuk UU No­mor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam Pasal 16 ditentu­kan “Setiap orang yang de­ngan sengaja menunjukkan ke­bencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskrim­inasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana pen­jara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak 500 juta rupiah.” Sanksi pidana ber­dasarkan UU Nomor 40 Tahun 2008 ini lebih berat dari KUHP.

Pasal 28 Ayat 2 UU ITE men­jelaskan pelaku kejahatan ras, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuh­an individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasar­kan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.” Pasal 45 Ayat 2 menegaskan sanksi pelaku ke­jahatan ras dihukum penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu juta rupiah.

Tapi apalah arti undang-undang bila hanya dipajang sebagai etalase teks klausa tanpa komitmen penerapannya dan apalah arti klaim negara hukum tanpa goodwill penegakannya.

Read more