Sekilas Info Puasa (3)
Setiap perbuatan ibadah wajib dan mustahab (sunnah) memerlukan keabsahan. Bila syarat-syarat yang ditetapkan oleh Syari' (pembuat hukum agama) dipenuhi oleh pelaksananya, maka ia ditetapkan sebagai sah. Bila tidak, maka ia batal dan ibadah ditetapkan sebagai tidak terlaksana.
Puasa wajib dan mustahab, sebagaimana ibadah lainnya, ditetapkan sebagai sah alias terlaksana sesuai aturan syariat (hukum agama) bila syarat-syarat keabsahannya terpenuhi.
Salah satu syarat keabsahan puasa wajib (yang diperintahkan) dan mustahab (yang dianjurkan) adalah pelaksananya tidak sedang melakukan perjalanan atau tidak sedang bepergian atau sedang menetap di suatu daerah.
Definisi perjalanan (safar) dalam hukum agama berbeda dengan definisi perjalanan dalam selainnya.
Berdasarkan fikih (ilmu hukum agama) yang disepakati oleh mayoritas fuqaha mazhab Imamiyah, parameter perjalanan yang membatalkan puasa adalah 8 farsakh (45 km atau 41 sesuai fatwa-fatwa para faqih rujukan masing-masing muqallid), baik untuk pergi saja atau pulang pergi (dengan syarat jarak yang ditempuh untuk pergi tidak kurang dari 4 farsakh (22, 5 km).
Syarat bermukim ini bagi pemuasa ini tidak berlaku bila :
- Perjalanan dilakukan setelah matahari tergelincir atau setelah tiba waktu dhuhur.
- Perjalanan dilakukan dan sampai di tempat tujuan sebelum matahari tergelincir atau sebelum tiba waktu dhuhur.
Singkatnya, puasa berlaku sah bila pemuasa tidak melakukan perjalanan saat matahari tergelincir. Puasa otomatis batal bila dhuhur tiba saat sedang melakukan perjalanan.
Sebagian orang tetap melakukan perjalanan sambil berpuasa karena mengira perjalanan yang membatalkan puasa bila mengakibatkan kelelahan. Padahal kelelahan tidak ditetapkan sebagai salah satu faktor pembatalan puasa atau tidak menetapkan kebugaran sebagai syarat terlaksananya meski dilakukan sambil bepergian.
Atas dasar itu, meski sebagian orang merasa berpuasa saat melakukan perjalanan (sesuai definisi dan parameter syariat), tetap tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan puasa wajib maupun mustahab. Ini menurut fikih Ahlulbait. Artinya, puasanya batal dan ketentuan wajib qadha (menggantinya dengan puasa di hari lain). Namun tidak makan dan minum bagi yang tidak berpuasa di ruang publik adalah perilaku terpuji.