"PAK USTADZ PILIH SIAPA?"

"PAK USTADZ PILIH SIAPA?"

Belakangan ini saat pilpres kian dekat saya sering dapat pertanyaan "siapa paslon pilihan ustadz". Ini adalah pertanyaan mudah, tapi sulit dijawab. Sulit dijawab bukan karena sulit membandingkan tiga paslon dan menentukan satu keunggulan tunggal salah satu dari mereka.

Kalau pertanyaannya, "tak memilih siapa?", agak mudah menjawabnya, tapi itu menyisakan kekaburan dan bukan jawaban final, karena yang di bilik suara bukan Jokowi versus Fauzi Bowo dan bukan Jokowi versus Prabowo.

Andai pada pilpres kali hanya ada dua paslon yang pasti akan menggunakan dua narasi ideologi yang berbeda atau bahkan berlawanan, jawabannya bisa semudah pertanyaannya. Itulah yang saya lakukan pada dua pilpres juga pada pilgub DKI yang lalu. Sebagian besar dari orang-orang yang risih terhadap eksploitasi simbol agama, teruyama kalangan minoritas, secara sukarela berbondong-bondong mendukung kubu yang relijiusitasnya lebih rendah.

Pada pilpres  2014 dan 2019 hanya dua kontestan. Karena itulah setiap kontestan memilih narasi kampanye yang berlawanan demi mempengaruhi calon pemilih. Lucu sekali bila narasi pihak yang berebut suara terbanyak publik yang punya malah menjual narasi yang sama.

Karena itu, meski kedua capres pada 2014 dan 2019 memiliki satu latar belakang ideologi, yaitu merah alias abangan alias nasionalis, salah satu dari dua kontestan merasa perlu mengambil posisi diametrikal dengan tujuan meraih captive market yang tidak terakomodasi. Lalu dimainkanlah narasi kontras.

Nasionalisme dan Islam adalah takdir identitas politik Indonesia yang tak mungkin dipungkiri sebagai fakta, meski saya menolak ide pendikotomiannya. Sang paslon yang nyata sekuler dan tidak relijius "terpaksa" tampil relijius, memproduksi dan menyebarkan aneka narasi kontra capres lawan. Masyarakat pun kontan terbelah dua antara kubu yang rajin mengklaim diri nasionalis, pluralis dan kubu yang terduga atau mengaku relijius atau Islamis.

Kini dalam semua paslon dan koalisi partai pendukungnya masing-masing ada nasionalis dan islamis, sekularis dan radikalis, merah dan hijau. Semua paslon bicara demokrasi, kebinekaan, dan giat mengunjungi pesantren-pesantren serta mengais dukungan agamawan. Karena itulah, dua opsi dialektik tak lagi relevan untuk disajikan. Karena itu pula, calon mesti move on tak lagi sibuk menentukan politik dengan modal mindset rekayasa algoritma. Saatnya calon pemilih menggunakan parameter logis dan sesuai dengan dinamika aktual.

Read more