DEMOKRASI DAN POLITIK IDENTITAS

DEMOKRASI DAN POLITIK IDENTITAS
Photo by Unsplash.com

Negara adalah institusi yang dibangun di atas asas sebagai buah konsensus yang secara kultural, konstitusional dan agama mengikat secara otomatis setiap individu di dalamnya.

Indonesia adalah negara yang berdiri di atas asas yang disepakati oleh para pendiri (yang merepresentasi semua elemen), yaitu Pancasila dan UUD.

Demokrasi disepakati sebagai sistem politik dalam pembentukan legitimasi pengelolaan negara dan penentuan pengelola. Pemilihan merupakan salah satu mekanismenya.

Polarisasi dan Politik Identitas

Dalam arena politik yang tak bebas dari intrik, post truth dan intimidasi, identitas dan simbol selalu menjadi senjata andalan, terutama bagi yang mengaku tak menggunakan identitas dalam meraih elektabilitas dan suara.

Bagi masyarakat umum yang terlanjur memahami bahwa "siapa" mendahului "apa", nasionalisme dan tradisionalisme Islam tidak ditentukan oleh paradigma tapi oleh sosok yang diposisikan sebagai ejawantahnya.

Merah dan hijau bukan soal fgur manakah yang dianggap mewakili nasionalisme dan tradisionalisme Islam tapi soal kombinasi warna yang telah menjadi takdir politik identitas.

Identitas tak hanya agama tapi apapun yang dapat dijadikan sebagai etalase, termasuk nasionalisme. Semua kontestan mengaku nasionalis dan berlomba menampilkan citra relijiusitas.

Faktanya, nasionalisme bukanlah partai, bukan simbol dan bukan semata merah. Islam tradisional pun tak melulu ormas dan hanya hijau. Nasionalisme sejati menjunjung agama yang dianut nation (bangsa). Islam yang relevan juga menetapkan nation sebagai karunia Tuhan yang harus dipelihara.

Memilih Capres

Presiden, berdasarkan esensi dan fungsinya, adalah pengelola negara. Presiden juga biasanya mengelola pemerintahan (lembaga eksekutif) yang merupakan salah satu bagian dalam negara berdasarkan kontrak sosial yang legitimasinya bersumber dari suara terbanyak dalam pemilihan umum.

Dengan kata lain pesiden adalah orang yang ditunjuk oleh rakyat melalui pemilihan presiden sebagai pengelola negara juga kepala pemerintahan yang dibantu oleh wakilnya serta sejumlah orang pilihannya dalam beragam bidang.

Dalam sistem demokrasi rakyat direpresentasi oleh sejumlah orang melalui pemilihan wakil dalam lembaga legislatif sebagai salah satu bagian dalam negara guna mengawasi dan mengarahkan pengelola negara dan kepala pemerintahan.

Dalam sistem demokrasi kepemimpinan ada pada rakyat. Karena itu sebutan pemimpin bagi presiden terasa agak problematik kecuali bila diberi makna metaforal atau pengertian konsekuensial sebagai pemimpin dalam konteks otoritas horisontal.

Pemimpim dalam.pengertian primalnya adalah Tuhan dan manusia-manusia suci yang mengimanensikan otoritas vertikal, para nabi, wali dan ulama sejati sepanjang masa yang ditunjuk oleh Tuhan, tidak dipilih oleh manusia.

Dengan kata lain, presiden bukan pemimpin dalam artian esensialnya, karena pemimpin berkaitan dengan manusia (masyarakat, rakyat) yang merupakan entitas eksistensial, bukan instusi yang merupakan entitas esensial (artifisial, konsemsual).

Pengelola institusi apapun adalah seorang menejer atau CEO yang bekerja berdasarkan kontrak yang diajukan oleh pemilik dan disetujuinya dengan segala hak dan kewajibannya.Dia bekerja untuk melayani rakyat yang merupakan pemimpin sejati negara.

Ringkasnya, pemilu adalah event kontestasi orang-orang yang ingin diikat oleh pemilik negara (rakyat) sebagai manajer atau pelayan atau tukang. Sebutan terakhir ini selaras dengan adagium "pemimpin masyarakat adalah pelayannya"

Memilih Caleg

Salah satu titik lemah demokrasi tanpa batas adalah menjadikan elektabilitas dan akseptabilitas sebagai dasar utama bahkan tunggal legitimasi dalam penentuan wakil rakyat dan pengelola negara.

Karena itu demokrasi perlu dibatasi dengan norma-norma moral, kultur, etika dan asas kompetensi agar setiap undang-undang yang disahkan dalam permusyawaratan mengandung hikmah/kebijaksanaan sebagaimana ditetapkan dalam Pancasila.

Akibat mengutamakan elektabilitas dan popularitas atas kredibilitas dan akuntabilitas, tak mengherankan bila sebagian produk undang-undang dianggap tidak memihak kepentingan lapisan terbesar rakyat.

Dalam demokrasi compang camping seorang komedian atau preman terkenuka bahkan pernah tersangkut kasus narkoba bisa mengalahkan tanpa susah payah seorang tokoh yang punya rekam jejak sebagai pakar hukum, akademisi terkenal, saintis berijazah luar negeri, cendekiawan moderat, bankir kelas atas, aktivis anti diskriminasi, pengusaha sukses dan politisi vokal.

Mestinya disaring dulu berdasarkan kompetensi, akuntabilitas dan rekam jejak kemudian dipersilakan berpartisipasi dalam kontestasi demi meraih prosentase elektabilitas dan akseptabilitas.

Tanpa proses itu, bromocorah pun bisa meraih elektabilitas tinggi bila didukung tim penyebar opini dan dana besar, dan individu yang kapabel, kompeten serta kredibel bisa dipastikan tercampakkan bila tak punya bohir dan enggan berakting demi pencitraan.

Read more