DISELEKTABILITAS

DISELEKTABILITAS

Beberapa kali saya diminta menjadi narsum L2 dan kadang L3. Itu sudah biasa. Yang tidak biasa itu diundang sebagai narsum beberapa bulan sebelum acara dan sudah fixed, tiba-tiba jelang keberangkatan dibatalkan karena tekanan para senior dengan alasan saya dikenal sebagai orang Syiah. Tau kucing!

Saya Syiah, itu urusan privat saya. Mestinya alasan mengundang saya adalah kiprah dan kompetensi akademik yang tidak berkaitan secara langsung dengan persepsi keagamaan saya. Toh, saya tidak diundang sebagai pendakwah agama yang mungkin dikhawatirkan kontennya pikiran-pikiran sesat. Alhamdulillah tidak pernah tergiur memakai tekstil kesucian semacam jubah, sorban, selendang sambil tabur berkah untuk monetisasi agama di luar komunitas, bahkan dalam komunitas sendiri pun tampil ala aktivis LSM.

Saya tidak keberatan dibatalkan karena saya sejak 20 tahun sudah menerima fakta stigma negatif ini menjadi risiko hidup yang mempersempit ruang kontribusi bagi umat, bangsa dan manusia.

Diundang adik-adik sebagai narsum itu tidak mendongkrak popularitas juga tidak menambah jumlah hatters intoleran. Diselektabilitas saya setelah almarhum Ust. Jalal sudah mentok di media sosial. Yang pasti, tidak menambah saldo, justru kadang tekor.

Yang bikin saya terkesima adalah fenomena sektarianisme dan kemujudan yang tetap gentayangan dalam organisasi komunitas mahasiswa dan intelektual yang rutin dibekali dengan ide-ide keislaman inklusif Cak Nur, Dawam Raharjo, Yudi Latif dan lainnya. Ironis!

Read more