HIERARKI PENGETAHUAN

HIERARKI PENGETAHUAN

Eksistensi (yang biasanya disebut ada) adalah yang terjadi dan berlaku sebelum dipikirkan (dengan semua kategori). Sebelum dipikirkan, eksistensi tak berbentuk apapun. Inilah tahap keterjadian. Inilah yang kemudian dicoba untuk dijelaskan oleh para filsuf metafisika meski sebagian mengalami kegagalan akibat kerancuan membedakan eksistensi sebagai konsep (yang dicoba dijelaskan) dan eksistensi sebagai makna keterjadian.

Eksistensi atau ke-ada-an dialami oleh apapun  yang ada, mulai dari inti atom hingga galaksi, dari mikro organisme hingga ikan paus. Ini tak memerlukan iman, itsbat, pengakuan, kesepakatan dan prosedur juga bahasa. Pada tahap ini tak ada Agus, mobil, rumah dan apapun. Yang ada hanyalah ada tanpa bentuk

Tahap ini karena mendahului tahap kesadaran kerap dilompati oleh kebanyakan orang bahkan dilupakan juga dinafikan karena dianggap "hampa", tidak konkret dan tak produktif (alias tak tunduk kepada rezim sains, tekknologi, industri dan modal).

Pada tahap ini, tanpa mengamati pembagian wujud sebagai khariji (eksistensi faktual) dan sebagaj dzihni (eksistensi mental), manusia dengan pengalaman intuisinya mulai mendapatkan gagasan tentang wujud, baik terkait dengan dirinya (pengetahuan tentang diri), pengalaman diri (cinta dan benci dan pengalaman lainnya yang merupakan entitas subjektif) atau pun di luar diri (yang merupakan entitas objektif).

Kemudian manusia dengan intuisi personalnya menyadari eksistensi tanpa bentuk itu dan mengalaminya. Inilah tahap kesadaran supra rasional atau pengalaman.

Di antara semua yang mengalami keterjadian, manusia dan semua entitas berjiwa (biologis) menyadari pengalaman keterjadian itu sesuai kapasitas gradualnya masing-masing. Indikatornya adalah pengalaman intelektual dan emosional yang terjadi dalam dirinya serta respon kognitif  dan sensoriknya terhadap selain dirinya (fakta, eksistensi eksternal).

Tahap ini karena mendahului tahap pemalaran kerap diabaikan sebagian besar orang, bahkan dinafikan oleh banyak orang. Para penggemar sait suluk dan para penikmat mistisisme mendalami tahap ini dengan aneka metode dan ordo.  Mungkin inilah tahap syuhud yang dimaksudkan oleh Suhrawardi dan Hudhur menurut Sadra.

Lalu manusia dengan akalnya menciptakan citra dan pikiran sebagai salinan subjektif tentang eksistensi yang tak berbentuk itu. Inilah tahap abstraksi murni pengetahuan tentang eksistensi atau ada (sebelum dicerap, dibagi dan diberi nama), menurut para filsuf Paripateik, dan melalui abstraksi jiwa dalam proses tranaubstansi menjadi kehadiran sebagai pengetahuan, menurut Sadra. Sangat mungkin tahap awal menurut Rene Descatres melalui "Cogito ergo sum".

Tahap ini karena mendahului tahap penginderaan diabaikan oleh banyak orang.

Selanjutnya manusia  (yang pada tahap sebelumnya telah mencerap dengan akalnya eksistensi yang tak berbentuk itu dan menciptakan pikiran utuh) menggunakan inderanya memandang eksistensi lalu membaginya eksistensi dalam aneka citra.

Tahap ini justru dianggap sebagai tahap pertama oleh sebagian besar orang yang mengira berpikir mesti berbasis indera.

Berikutnya manusia membagi citra-citra yang beragam itu dalam benaknya ke dalam dua tipe pikiran; pertama adalah pikiran tentang fakta yang merepresentasi eksistensi (yang semula tak berbentuk itu); kedua adalah pikiran tentang tentang pikiran yang diciptakan sebagai buah dari (pikiran tentang) fakta (yang sebenarnya adalah pikiran, bukanlah fakta itu sendiri). Inilah tahap persepsi atau pencerapan atau pencitraan. Tahap ini disadari dan terus dijejalahi oleh minoritas manusia, terutama para penikmat filsafat dan studi humaniora.

Pada tahap ini pikiran tentang fakta atau realitas dianggap seolah fakta dan realitas itu sendiri demi membedakannya dari pikiran tentang eksistensi dan pikiran tentang (pikiran berupa kemasan) fakta. Tahap ini diafirnasi oleh kalangan terdidik terutama kaum saintis.

Berikutnya manusia ketika hendak mengungkapkan pikiran tentang eksistensi, pikiran tentang pikiran itu sendiri dan pikiran tentang fakta-fakta yang berlainan, mencari dan menyepakati kata khas sebagai nama atau penanda vokal dan tekstual agar dipahami oleh orang lain demi membangun peradaban dengan fondasi pengertian, definisi dan pengetahuan.

Tahap ini dikonfirmasi oleh hampir semua orang, bahkan kalangan awam (awam secara intelektual, bukan awam secara keagamaan) seraya menganggapnya sebagai tahap awal karena mengira kata mendahului makna alias pikiran. Mereka menolak ajakan memikirkan isu penting dengan alasan bahasa, padahal kualitas bahasa mengikuti kualitas bahasan.

Read more