ITSBAT NASAB DALAM LOGIKA

ITSBAT NASAB DALAM LOGIKA
Photo by Unsplash.com

Mengakui adalah afirmasi atas sesuatu yang terjadi sebagai fakta. Tidak mengakui adalah negasi (penafian) atas sesuatu.

Afirmasi atas sesuatu dan negasi atasnya merupakan konten pernyataan yang terdiri atas subjek dan predikat. Karena itu mengafirmasi dan menegasi bisa dianggap sebagai predikasi dan atribusi.

Dalam logika (filsafat) Itsbat (afirmasi) memerlukan (tsubut), sedangkan tsubut tak memerlukan itsbat. Artinya, penegasan (afirmasi) atas sesuatu (fakta) memerlukan keterjadian fakta itu, namun keterjadian fakta itu tak memerlukan afirmasi itu.

Para ahli bahasa menetapkan itsbat sebagai kata kerja transitif atau berobjek, Itsbat diambil dan diolah dari kata kerja berobjek (fi'l mutaaddi, فعل متعدى) menetapkan (atsbata) dan sarana untuk membangun argumen. Sedangkan tsubut adalah kata kerja intransitif atau yang tak berobjek, (fi'l lazim, فعل لازم).Tsubut diambil dari kata kerja nir-objek (fi'l lazim) tsabata yang berarti menetap, berlaku dan terjadi dalam realitas, diketahui maupun tidak, dibuktikan maupun tidak, diafirmasi maupun dinegasi.

Dengan kata lain, itsbat (wasithah fi itsbat) adalah dasar keyakinan, anggapan dan pengakuan, sedangkan tsubut (wasathah fi al-tsubut) adalah fakta yang berlaku di luar keyakinan dan anggapan.

Suatu hari saat Anda memberitahu Agus, rekan Anda yang lain bahwa rekan anda yang bernama Ahmad tidak kerja hari itu, Agus bertanya, "apa dasar pernyataan Anda bahwa dia tidak kerja"?, lalu Anda menjawab, "(dasar keyakinan saya adalah) tandatangannya tidak ada dalam buku kehadiran. Pada hari kedua, Anda bertanya kepada Ahmad "mengapa (apa dasar) Anda tidak kerja kemarin?", maka dia menjawab "Saya tidak menandatangani buku kehadiran karena sedang sakit di rumah." Fakta sakit adalah tsubut yang merupakan sebab real ketidakhadirannya di kantor. Sedangkan keyakinan Anda bahwa Ahmad tidak bekerja hari itu adalah itsbat berdasarkan tidak adanya tandatangannya di buku kehadiran.

Dalam contoh sebaliknya, Suatu hari saat Anda memberitahu rekan Anda Agus, lain yang bahwa rekan Anda yang bernama Ahmad tidak kerja hari itu, Agus bertanya, "apa dasar pernyataan Anda bahwa dia tidak kerja"?, lalu Anda menjawab, "(dasar keyakinan saya adalah) tandatangannya tidak ada dalam buku kehadiran. Pada hari kedua, Anda bertanya kepada Ahmad "mengapa (apa dasar) Anda tidak kerja kemarin?", dia menjawab "saya tidak sempat menulis tandatamgan di buku kehadiran karena dalam perjalanan memuju kantor tiba-tiba direktur memerintahkan saya segera menemui seorang klien dan membicarakan banyak urusan dengannya di sebuah kantor, dan saya langsung kembali ke rumah karena sudah lewat jam kerja." Tidak adanya tandatangan dalam buku kehadiran adalah tsubut yang merupakan alasan real sebenarnya ketidakhadirannya. Keyakinan Anda bahwa Ahmad tidak bekerja hari itu (yang nyatanya salah) adalah itsbat.

Kesimpulan dari dua contoh ilustrasi di atas adalah bahwa tsubut adalah realitas eksternal, sedangkan tsbat adalah cara Anda mengetahui realitas itu.

Bila kaidah itsbat dan tsubut diterapkan atas kasus kontroversi nasab Baalwi, maka dapat ditegaskan bahwa diakui dan tidak diakui (afirmasi dan negasi) sebagai dzurriyah Nabi hanya penting bagi yang menganggap itsbat (afirmasi nasab) sebagai tsubut (keterjadian) juga bagi yang menganggap nafi (negasi nasab) sebagai adam tsubut (ketakterjadian). Padahal keterjadian tak memerlukan pengakuan, namun pengakuan memerlukan keterjadian.

Dengan kata lain, diakui atau dibuktikan (itsbat) dengan sandaran buku nasab atau syuhrah (ketenaran) dan istifadhah (kesanteran) atau bahkan dengan hasil tes DNA (bagi yang tidak paham detail teknologinya dan sistem kodofikasinya namun terpengaruh oleh iklannya) sebagai orang yang bernasab kepada Nabi dan sebaliknya takkan mengubah, mengurangi atau menambah fakta (tsubut) seseorang sebagai dzuyrriyah dan tak diakui (nafi) takkan mengubah seseorang sebagai bukan dzurriyyah.

Dikonfirmasi (di-itsbat) sebagai dzurriyyah menjadi penting bagi yang mengambil keuntungan atau bagi yang mengira diakui sebagai dzurriyyah sama dengan menjadi dzurriyyah. Dikonfirmasi sebagai bukan dzurriyyah menjadi penting bagi yang mengambil keuntungan bila orang itu tak lagi diakui sehagai dzurriyyah karena alasan dan tendensi yang menjadi pendorong.

Orang yang tak menjadikan nasab sebagai sarana meraih kekuasaan atau kekayaan lebih sibuk dengan nasib ketimbang nasab, tak peduli siapa moyangnya, tapi dia lebih peduli siapa panutannya.

Afirmasi dan diakui sebagai keturunan Nabi atau siapapun menjadi tidak penting bagi yang tidak memerlukannya (memerlukan pengakuan) untuk tujuan positif maupun negatif.

Kalau sekadar tak diakui sebagai cucu seseorang yang diyakini sebagai kakeknya, tak layak dipersoalkan oleh objek yang tak diakui, meski itu sama dengan mencerabut sejarah dan identitasnya. Tapi itu tak berarti dia dan semua yang sekeluarganya layak dianggap pendusta dan membiarkan diri dihujani cacian dan hinaan serta fitnah terhadap keluarga besarnya yang dulu, kini dan mendatang hanya karena dia dan keluarganya adalah kelompok minoritas.

Tentu penjelasan tentang itsbat (afirmasi) nasab dalam perapektif logika ini tak dipahami atau tak ingin dipahami oleh orang-orang yang sudah benci karena benci tak perlu argumen.

Read more