KETIKA PENA DI TANGAN PEMBENCI

KETIKA PENA DI TANGAN PEMBENCI
Photo by Unsplash.com

Karena yakin tidak ada kitab nasab sezaman atau lebih tua yang mencantumkan nama Ubaidillah, sang penggugat nasab alawiyin melakukan road show dan sesumbar seraya mencemooh kalangan habaib sedang panik. Ia sedang menikmati euforia menghapus dahaga balas dendam kepada segelintir alawi yang dulu dipujanya karena merasa berhasil menyandera satu komunitas dalam ruang pengap keresahan hingga terdegdradasi, terisolasi, terancam dan terpuruk ke derajat paling rendah dengan atribut pendatang, imigran, penipu, penjual agama, penjajah, pengkhianat bangsa, pelaku perbudakan dan sederet kata kotor lainnya.

Tak berhenti di situ. Cucu para wali agung dan pendukungnya melengkapi "pesta kemenangan" dengan sejumlah narasi tambahan seperti "pribumi" yang justru merupakan warisan kolonial dan provokasi susulan dalam ratusan konten video serta comment-comment yang menuntut tes DNA yang, sayangnya, dianggap oleh beberapa awam yang tersulut sebagai cara yang pasti bisa membuktikan tersambung dan tidaknya nasab seseorang.

Menghujat para habib yang menyombongkan nasab, dia malah menepuk dada membanggakan diri sebagai keturunan para wali dan raja sekaligus sebagai pribumi sambil terkekeh membayangkan satu komunitas "ex habib" yang dibencinya terkepung dalam pusaran kebencian di negeri yang ditetapkan bukan milik mereka.

Ketika pena di tangan pembenci yang tak menyisakan secuilpun welas dan empati, diam dicibir, merespon dicaci. Dalam situasi demikian, himbauan para kyai dan pimpinan NU tak lagi penting bagi para jawara ningrat itu, dan kritik para alawiyin progresif terhadap beberapa gelintir habib arogan seolah percuma. Semuanya, termasuk Habib Lutfi bin Yahya dan Prof. Quraish Shihab, dibungkus dalam karung yang sama dengan stempel "habib palsu". Para alawiyyin diharapkan menyerahkan gelar habib kepada para penggugat seraya menanti apapun yang akan menimpa mereka selanjutnya.

Tahap selanjutnya adalah memainkan isu pribumi dengan sasaran yang lebih luas dan lebih banyak, yaitu semua warga negara keturunan Yaman. Ternyata persoalan utamanya bukan penelitian ilmiah tapi kampanye hitam rasisme demi melawan demokrasi dan amanat konstitusi.

Read more