KONSISTENSI YANG NEGATIF DAN SINDROM PUBLIK PEMUJA

KONSISTENSI YANG NEGATIF DAN SINDROM PUBLIK PEMUJA
Photo by Unsplash.com

Mengapa sebagian orang dengan alasan konsistensi mempertahankan pandangan dan sikap dalam konteks politik yang pada faktanya selalu pragmatis dan dinamis?

Mengapa sebagian orang dengan alasan konsistensi mempertahankan pandangan dan sikap dalam konteks politik yang pada faktanya selalu pragmatis dan dinamis?

Kritik olterhadap penguasa oleh sebagian rakyat yang pada pemilu lalu mendukungnya dianggap oleh sebagian pendukungnya sebagai inkonsistensi.

Mungkin saja anggapan itu benar. Inkonsistensi tak selalu negatif dan konsistensi tak mesti positif, karena parameternya adalah alasan dan tujuan.

Konsistensi dalam pemihakan politis karena pemujaan irrasional demi mempertahankan gengsi keterlajnjuran, bukan karena pemihakan ideologis, jelaslah salah dan tak terpuji. Sedangkan pengkritik justru menganggap kritik itu sebagai konsekuensi logis dukungan suara yang telah diberikannya.

Mengapa figur dalam dunia politik yang biasanya keruk oleh kepalsuan malah dilpuja setinggi langit seolah tak pernah salah dan, karenanya, menghujat siapapun yang mengktitiknya?

Filosof kontemporer dan kritikus budaya postmodern, Jean Baudrillard, berbicara tentang ambiguitas realitas manusia di era postmodern akibat dominasi simbol-silmbol

anipulatif yang memperdaya publik. Ia menyebutnya simulacra.

Simulacra adalah suatu dusta yang dibungkus dengan citra tekstual, visual dan lainnya yang sama sekali berbeda dengan diri faktualnya.

Ini kerap dilakukan seseorang yang dalam realitas hidupnya tak berpendidikan, atau tak relijius atau sama sekali tak peduli terhadap sesama, namun melalui akun pribadinya di sosial media, rajin mengcopas tulisan atau grafika berkonten sains dengan kutipan teori, agama yang bertabur ayat dan sabda, renungan kebijakan, moralitas dan hal-hal yang mencerminkan atensi terhadap problema sosial dan politik bangsa.

Dia sedang melakukan suatu simulasi yang berbeda dengan realitas dirinya yang asli. Inilah yang disebut dengan simulacra.

Pemuja dan pendukung adalah dua manusia yang berlainan. Pemuja menganggap pujaannya sebagai diri imajinal dan utopis-nya, sehingga menafikan apapun yang mereduksi “simulacra” diri yang disimulasikan pada citra pujaannya. Ini bukan soal yang dipuja, tapi soal “aku” sebagai pemuja. Sedangkan pendukung selalu menjaga jarak dengan individu atau kelompok yang didukungnya agar tidak kehilangan quiditas faktual dan agar kedaulatan personalnya lebur dalam personalitas pihak lain.

Singkatnya, pemuja yang konsisten dalam memuja terlalu angkuh untuk merevisi pandangannya dan menerima pandangan yang berbeda.

Read more