KUDETA GENESIS (Bagian 2)
Dunia yang serba digital mengkonfirmasi revolusi industri 4.0 yang mengubah ekonomi, pekerjaan, dan bahkan masyarakat itu sendiri. Industri 4.0 menggabungkan banyak teknologi fisik dengan teknologi digital melalui analitik, kecerdasan buatan, teknologi kognitif, dan Internet of Things (IoT) untuk menciptakan perusahaan digital yang saling terkait dan mampu menghasilkan keputusan yang lebih tepat.
Revolusi ini menanamkan teknologi yang cerdas dan terhubung tidak hanya di dalam perusahaan, tetapi juga kehidupan sehari-hari kita. Ia mengubah dunia manusia secara revolusioner dalam prilaku, kecenderungan dan pandangan, termasuk agama.
Bagaimana nasib agama yang dianggap sebagai warisan era purba sebelum industri pertama? Ada yang gelisah dan berjuang melawan sains. Ada yang menyerah dan membuang agama.
Dunia intelektual seolah bergertar dan sebagian warga bumi terkesima oleh kecemasan dan ramalan menakutkan yang dilukiskan secara dramatikal tentang ancaman terhadap peradaban manusia akibat tiga faktor utama, yaitu perang nuklir, perubahan iklim atau keruntuhan ekologis dan gangguan teknologi dan biologi.
Setelah dicekam kecemasan, manusia modern yang tersandera oleh bencana teknologi digital dikejutkan oleh sebuah tawaran solusi radikal, yaitu membuang agama yang dianggapnya sebagai kekuatan negatif penyebab kesintingan temurun. Karuan saja, namanya mendunia dan tiga bukunya jadi best seller. Yuval Noah Harari seolah dinobatkan sebagai reinkrnasi Hawkings sang saintis dan Tofler sang peramal.
Pandangan anti Tuhan dan agama sudah banyak dikemukan oleh para pemikir seperti Nietzche, Sartre, Camus dan saintis Barat seperti Hawkings penulis A Brief History of Time dan Richard Dawkins, penulis The Selfish Gene dan The Magic of Reality. Namun pandangan professor di Hebrow University bias dianggap sebagai pemikir zaman now yang mampu mengungkap kecemasan manusia di zaman serba computer ini dalam tiga karyanya, Sapiens dan Homo Deus juga 21 Lessons.
Harari berharap bahwa 21 pelajaran akan membantu orang-orang untuk memiliki kejelasan dan kesadaran lebih tentang apa yang sedang terjadi di dunia saat ini.
Harari mengkritik semua agama sebagai arogan, penuh dengan ketidakkonsistenan dan secara fundamental sebagai kekuatan negatif. “Sejauh pengetahuan ilmiah kami, semua teks suci ini ditulis oleh Homo sapiens yang imajinatif. Itu hanya kisah-kisah yang diciptakan oleh nenek moyang kita untuk melegitimasi norma-norma sosial dan struktur politik. ”Dia menyarankan untuk melihat apa itu dan membuang kepercayaan salah agama-agama institusional.
Dunia Barat yang tak percaya Tuhan dan meremehkan agama boleh mengagumi sinisme Hararo tapi pandangannya tentang Tuhan dan agama terutama agama-agama monoteis mengungkap falasi fatal akibat sejumlah premis invalid yang mendasari pernyataan-pernyataannya. Falasi-falasi pendukung Iluminati ini meliputi kerancuan dalam logika, ontologi, dan sains.
Yang paling mencolok adalah pemahamannya yang sempit tentang eksistensi dan realitas yang berakibat pembatasan kausalitas dan sistem alam hanya pada proses saintifik.
Kesadaran eksistensi menentukan pilihan pandangan dunia dan paradigma setiap orang dalam memandang dan bertindak. Kesadaran eksistensi yang tak luas meniscayakan pembatasan eksistensi pada citra-citra yang tercerap melalui penginderaan. Akibatnya, memperlakukan fakta abstrak sebagai fakta konkret dan menetapkan materi dan efeknya sebagai paramerer afirmasi dan negasi.
Kerancuan kedua adalah ketakberdayaannya untuk membedakan agama (religion) dengan beragama atau keberagamaan (relijitas). Bila agama dilihat secara materialistik dan fenomenologis sebagai sesuatu yang tampak pada permukaan fakta material dalam perilaku penganutnya, maka bagi yang “berharap” agama menjadi solusi konkret yang langsung menggantikan sains yang semula dipandang sebagai buah penolakan terhadap agama, maka agama terlihat negatif.
Pengalaman demi pengalaman negatif yang terjadi dalam masyarakat beragama dan kerusakan sosial sebagai akibat perilaku intoleran dan irasional kalangan awam sangat mungkin mendorong sebagian orang yang punya ekspektasi tak rasional dan proporsional terhadap agama melakukan penolakan secara tak proporsional pula. Tak hanya menyalahkan cara pandang sebagian orang tentang agama, sebagian orang akibat pengalaman traumatik menganulir apresiasi terhadap agama.
Kalau saja sejak semula menyusun pikiran secara ontologis, kita bisa memandang agama dalam dua sisi, yaitu agama sebagai realitas abstrak yang berada dalam altar kesucian dan agama sebagai realitas konkret yang muncul dalam benak para penganut dan teraktualkan dalam perilaku dan tindakan.
Dalam ontologi, realitas atau objek personal konkret yang tertangkap oleh subjek melalui sensasi personal mengalami abstraksi dan menetap dalam brankas benak sebagai realitas abstrak. Karena tak berdiri sebagai realitas objektif yang bisa ditangkap dengan persepsi sensasi, agama tak bisa diabstraksi. Artinya, agama secara ontologis bukanlah entitas eksistensial, namun hanyalah produksi konstruksi mental.
Secara ontologis sebenarnya agama pada dirinya bukanlah realitas objektif karena memang ia tak bisa ditemukan instanta faktualnya, bukan seperti sosok Budi, sosok Agus, gunung Krakatau dan handphone yang anda pegang saat ini.
Agama sebagai pikiran adalah entitas artifisial, bukan objek real yang teridentifikasi sebagai sesuatu yang bisa berwujud secara personal. Ia bisa dikaitkan dengan realitas abstrak dari pengaruhnya, yaitu bila mengantarkan kepada sesuatu yang mulia dan kesempurnaan dengan ragam ragam levelnya. Agama dapat pula dikaitkan dengan realitas konkret dalam perilaku positif penganutnya. Bila tidak, ia bukanlah agama, bukan sesuatu yang nyata. Itulah agama pseudo yang diciptakan oleh subjek yang mengira agama sebagai sesuatu yang konkret.
Bersambung...