KULTUS POLITIK

KULTUS POLITIK
Photo by Unsplash.com

Sebagian orang, karena orang yang dipilihnya pada pilpres lalu menang dan terpilih sebagai penguasa, merasa bangga dengan sedemikian rupa sehingga merasa dia yang menang.

Rasa bangga terlalu nyaman untuk tidak dirawat. Dia menikmati kebahagiaan dan kebangaan ini meski kompetisi telah berlalu. Dia merawatnya dalam romantisme konsolidasi yang dikelola sebagai komunitas pemilih sang pemenang dalam euforia polarisasi yang senantiasa dikipasi. Boleh jadi, rasa bahagianya lebih besar dari kebahagiaan pemenang yang didukungnya.

Dia tidak sedang memihak penguasa yang menjadi pemenang tapi memihak diri sendiri sebagai pihak yang merasa mengantarkannya sebagai pemenang.

Demi mempertahankan rasa bangga dan euforia kemenangan dia menyusun dua taktik;

  1. Memperlakukan figur pemenang yang dipilihnya sebagai santo tanpa setitikpun noda seraya berusaha menjustifikasi dengan interpretasi jauh terhadap fenomena anomali dalam proses politik yang jelas mencederai demokrasi, mengubah konstitusi dan mereremehkan akuntabilitas dan kredensi.
  2. Membangun opini sesama bahwa kekuasaan sang pemenang itu harus dilanjutkan secara langsung bila memungkinkan melalui upaya mengubah aturan yang membatasi masa jabatan dan secara tidak langsung melalui upaya menetapkan sang pemenang yang tak bisa memperpanjang masa kekuasaannya sebagai king maker yang menetapkannya sebagai pemimpin bayangan di balik kandidat yang direstuinya.
  3. Menuduh setiap kritik sebagai ujaran kebencian dan menganggap siapapun yang tak menerima kinerjanya selama berkuasa sebagai pembenci, wahabi, intoleran, radikalis dan anti NKRI.

Bila diperhatikan dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa

  1. Mempertanyakan proses pencalonan siapapun sebagai capres atau cawapres yang terkesan tidak wajar dan dipaksakan, karena adanya indikasi intervensi penguasa dalam perubahan syarat batas minimal capres dan cawapres tidak berarti memojokkan atau membenci secara personal individu yang dicalonkan.

    Demokrasi memberikan kepada rakyat yang diwakili para legislator di parlemen hak kritik bahkan pemakzulan bila pemegang tampuk pemerintahan dianggap melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Artinya, pengawasan adalah cara legal demi menghindarkan penguasa pemenang pemilhan dari perilaku korup dan otoriter.

  2. Mempertanyakan proses pencalonan siapapun sebagai capres atau cawapres yang terkesan tidak wajar dan dipaksakan, karena adanya indikasi intervensi penguasa dalam perubahan syarat batas minimal capres dan cawapres tidak berarti menafikan hak konstitusional setiap individu warga negara, anak presiden dan anak kuli, untuk memilih dan dipilih.

Hanya karena dilahirkan sebagai anak presiden atau anak penjahat tak menghilangkan hak konstutusionalnya untuk ditetapkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Hak ini berlaku setara atas siapapun.

Namun, bila ditemukan indikasi perlakuan khusus atau pemberian privilege kepada seseorang warga negara melalui upaya membuat justifikasi melalui MK karena status biologisnya sebagai anak penguasa, maka hal itu bertentangan dengan prinsip kesetaraan alias Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana ditetapkan dalam Pancasila.

Dengan kata lain, andai putera penguasa mencalonkan atau dicalonkan tanpa justifikasi yang mengesankan adanya intervensi tersebut, maka mempertanyakan dan mengkritik penetapannya oleh koalisi partai tertentu tidaklah revelan. Artinya, yang dikritik oleh sebagian orang bukanlah individu yang dicawapreskan juga bukan haknya untuk dicawapreskan.

Negeri ini pernah punya presiden egaliter, humoris dan bijak yang dikenal oleh seluruh dunia sebagai ilmuwan jenius. Meski hanya memimpin sebentar dia telah meningggalkan jejak harum, seperti mempersilakan rakyat Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia setelah melakukan referendum dan berhasil menekan harga dolar AS dalam krisis moneter. Sayang, dia tak diberi kesempatan melanjutkan kepemipinan. Anak-anaknya pun menjauh dari arena politik. Dia juga sukses mendidik dua puteranya sebagai pribadi yang matang dan sukses sebagai ilmuwan serta pengusaha tanpa privilege. Andaikan saat itu salah satu dari puteranya mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai capres atau cawapres, mungkin tidak banyak yang melontarkan kata dinasti.

Read more