LOGOS DAN MITOS

LOGOS DAN MITOS

Kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sabda atau buah pikiran yang diungkapkan dalam perkataan, pertimbangan nalar atau arti. Dalam khazanah sejarah filsafat, logos dianggap sebagai tahap pasca mitos.

Ada dua macam logos. Pertama adalah logos prophorikos, yaitu ide yang dikomunikasikan dalam ucapan dan tulisan. Kedua adalah logos endhiathetos, yaitu ide yang tidak dikatakan atau tidak ditulis.

Memilih adalah sebuah aktivitas yang bermuatan logos, karena objeknya adalah gagasan dan pikiran yang disebut "apa" meski diungkap oleh "siapa". Artinya, memilih capres berarti memilih ide yang mengisi nalar dan benaknya.

Sejatinya sesuai dengan makna demokrasi dan republca, memilih capres berarti memilih orang yang punya kemampuan melaksanakah tugas presiden dalam pengelolaan negara yang dimiliki bersama oleh bangsa.

Kemampuan mengelola negara dibentuk oleh dua unsur secara berurutan,  potensialitas dan aktualitas

Potensialitas

Ia adalah kemampuan memproduksi pikiran yang valid, terstruktur dan komprehensif terutama tentang prinsip utama dalam menata dirinya sebelum selainnya. Singkatnya, dia harus punya pengetahuan.

Filsuf, mistikus sekaligus analis Al-Quran, Thabathabai,  memberikan interpretasi terhadap ayat “Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui? (Azz-Zumar : 9) ”, bahwa pengetahuan dan nir pengetahuan adalah aksioma mutlak. Namun yang dimaksud dengan pengetahuan dalam konteks ayat tersebut adalah pengetahuan sublim tentang Tuhan. Ayat ini selaras dengan ayat lain, “Hanya orang-orang yang berakal yang mengingat,” (Al-Baqarah : 269) yang berarti orang-orang yang berakal berhak diunggulkan atas lainnya. Pengetahuan sendiri adalah parameter keunggulan atas selain pengetahuan, dan pengetahuan metafisik tentang Tuhan dan realitas transenden merupakan pemuncak pengetahuan.

Pengetahuan ini tak punya kaitan secara primer dan langsung dengan pemilu. Sebelum mencalonkan diri, dia sudah berbekal pengetahuan. Agar tidak setiap orang dianggap atau berebut klaim, maka pengetahuan dalam konteks ini mesti tervefikasi melalui sistem dan mekanisme baku dan konvnsional.

Karena pengetahuan atau ilmu adalah pikiran-pikiran yang merupakan entitas abstrak, maka ekspresi yang lugas dan artikulatif merupakan acuan tunggal untuk memahami dan mengafirmasi pengetahuannya.

Pengetahuan tidak bisa diwakili oleh tindakan meski kadang dianggap bermanfaat dan terkesan bersumber dari pengetahuan. Dengan kata lain, sebuah tindakan yang baik juga bermanfaat tanpa dasar pengetahuan hanyalah spontanitas yang tidak terukur dan tidak konsisten. Meski kadang dinilai berguna, tindakan tanpa didahului sebuah gagasan tidak bisa dianggap sebagai praktik dari sebuah teori atau implementasi sebuah pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan yang terferivikasi berupa teori atau konsep yang valid, meski tidak diimplementasikan karena tidak adanya kesempatan atau kepercayaan, tetaplah pengetahuan valid karena telah terverifikasi secara akademik. Pengetahuan intelektual dalam konteks isu pemilihan orang yang akan  mengelola negara ini, sebelum teraktualkan, i adalah pengetaguan potensial.

Ringkasnya, kemampuan potensial didasarkan pada verifikasi prosedural yang disempurnakan melalui artikulasi dan ekspresi verbal agar publik dapat melakukan verifikasi sosial. Karena kemampuan ini bersifat potensial, maka ia diaktualkan.

Aktualitas

Ia adalah kemampuan memobilisasi orang banyak untuk melaksanakan buah pengetahuannya karena telah mereka telah memfevikasi kemampuan intelektualnya.

Inilah yang kerap ditafsirkan sebagai kepemimpinan. Namun kepemimpinan yang merupakan buah pengetahuan intelektual, hanya berlaku sebagai syarat kedua bila publik juga mengapresiasi kecerdasan intelektual. Sedangkan wibawa dan pesona (yang selama ini dipandang secara subjektif dan terpisah dari pengetahuan) haruslah bersumber dari keunggulan dalam pengetahuan. Ia tidak dibentuk oleh imagologi dan kosmetik,  penampilan wajah, tubuh, busana, citra gestur dan tingkah pola yang tak berkaitan dengan pengetahuan alias kecerdasan intelektual.

Dalam konteks ini, publik pencari pengelola negara harus mengedepankan makna dan definisi logis tentang kepemimpinan. Kemampuan ini bisa disebut kecerdasan aktual atau kecerdasan menguaktualisasikan kecerdasan intelektual. Bila wibawa dan pesona visual dipahami dan dibakukan sebagai bakat kepemimpinan, maka bisa saja orang tak berpengetahuan karena tampan atau gagah, atau lucu atau bermimik memelas diterima sebagai pemimpin.

Pemilihan pengelola negara dam wakilnya alias pipres, pengetahuan aktual ini tidak dibangun oleh verifikasi konvensional alias akademik dan verifikasi sosial melalui kampanye, debat dan semacamnya tapi dibangun di atas elektabiltas dan akseptabilitas publik yang ditampilkan sebagai kepercayaan berupa mandat saat pemilihan dilaksanakan.

Para pembenci logos hanya mengandalkan fabrikasi mitos dalam kemasan gimick dan imagologi seraya merendahkan pengetahuan dan rasionalitas demi mengalihkan publik dari kedaulatan nalarnya agar mengutamakan kejenakaan palsu dan keakraban artifisial sebagai pengganti logos dan gagasan.

Publik yang cerdas memberikan kepercayaan kepada yang terverikasi sebagai individu yang punya pengetahuan pitensial tentang apa dan mengapa juga punya pengetahuan aktual tentang bagaimana, berapa, kapan dan di mana. Publik yang independen menentukan ekektabilitas seorang kandidat saat pemungutan suara dilakukan oleh pihak penyelenggara,  bukan lembaga-lembaga survei yang sibuk melakukan estimasi dan prediksi dengan sampling secara acak

Read more