MUSUH DALAM SELIMUT

MUSUH DALAM SELIMUT
Photo by Unsplash.com

Banyak orang mengira teks "Orang-orang terdekat lebih utama untuk diperlakukan dengan kebaikan" sebagai ayat, padahal bukan. Banyak pula yang menganggapnya sebagai hadis, meski diperselisihkan sanadnya.

Terlepas dari polemik itu, maknanya bisa diterima. Memprioritaskan keluarga terdekat terutama anak dan pasangan adalah sesuatu yang patut wajar. Berbuat kebaikan kepada keluarga terdekat mengundang dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturahmi. Terdapat banyak suci dan sabda suci yang menganjurkan sikap itu. Salah satunya adalah "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki." (QS. An-Nisa' : 36).

Masalahnya, berbuat baik kerap dipahami secara keliru sebagai memenuhi semua keinginan isteri, anak dan keluarga tanpa koridor rasional sehingga tersandera oleh nepotisme memperlakukan istri sebagai ratu dan memanjakan anak sebagai pangeran. Tak sedikit orang karena terdorong keinginan dianggap sebagai "suami yang baik" dan "ayah yang baik" tanpa pemahaman yang benar tentang agama, etika dan logika, melakukan korupsi, menipu dan melakukan kejahatan.

Padahal berbuat baik mesti selaras dengan prinsip keadilan dan kepatutan. Inilah yang sering mengakibatkan pelanggaran terhadap norma etika, hukum agama juga hukum negara. Anak atau pasangan yang mengendalikan ayah dan suami, yang mestinya menjadi penegak sistem yang baik, adalah orang yang menghancurkannya. Itulah musuh dalam selimut.

Istilah "musuh dalam selimut" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah musuh di kalangan sendiri. Peribahasa ini bermakna orang dekat yang secara diam-diam berkhianat. Orang terdekat adalah isteri, suami, anak dan kerabat lainnya. Disebut musuh dalam selimut karena terasosiasi dengan keintiman. Kata musuh tak hanya berarti orang yang membenci tapi juga berarti orang yang merugikan dan memimpakam keburukan atas seseorang yang tak dibencinya bahkan mencintainya juga tak bermaksud merugikannya.

Seseorang bisa sukses sebagai agamawan, penceramah, motivator, pemimpin, pendidik, pembela kebenaran di ruang publik tapi gagal di ruang domestik karena gagal menegakkan prinsip yang diklaimnya saat berhadapan dengan orang-orang yang terkait kepentingan dengan dirinya. Wibawa dan kepandaiannya yang diakui oleh khalayak justru rontok dalam selimut.

Kesuksesan sejati ditentukan oleh jangkauan prioritasnya. Mengutamakan keluarga dalam kebaikan berarti menerapkan hukum atas keluarga pada skala prioritas, bukan justru meliburkannya. Memprioritaskan keluarga terdekat dalam kebaikan merupakan salah satu indikator ketulusan, karena tak terekspos dan kerap dianggap sebagai kewajiban standar, bukan kemurahan hati.

Banyak pula orang dikenal baik dan dihormati karena itu sampai isteri atau anaknya memintanya memenuhi keinginan yang bertentangan dengan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya.

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu." (QS. At-Taghabun : 14)

Read more