NABI SAW TAK PERNAH TERMAKAN FITNAH
"Termakan fitnah" berarti tertipu mentah-mentah. "Termakan fitnah" adalah diksi yang lebih vulgar dari "tertipu".
Tertipu berarti memberikan respon salah. Memberikan respon salah berarti mengira yang salah sebagai benar.
Mengira sesuatu yang salah sebagai benar berarti tidak mengetahui fakta. Itu semua berarti kebodohan.
Menganggap Nabi SAW yang dijanjikan terlindungi selamanya sebagai orang tertipu berarti membuka celah kemungkinan apa yang diajarkannya sebagai salah.
Membuka celah kemungkinan apa yang diajarkannya sebagai salah berarti memberi bahan cemooh kepada pembenci menganggap yang mengajarkannya sebagai orang bodoh.
Ketertipuan adalah kebodohan. Ia bukanlah keteladanan. Orang yang termakan fitnah alias tertipu, menurut standar etika, bukanlah teladan.
Nabi Muhammad SAW bukan hanya orang baik tapi 'prototipe manusia' yang lebih mulia dari siapapun selain Allah.
Orang yang menyadari keagungan Nabi Muhammad SAW takkan menjustifikasi kesalahannya dengan menganggap beliau yang merupakan hamba termulia sebagai" termakan fitnah".
Membedaki dusta dengan dusta yang lebih besar adalah super dusta. Cara mudah mengaku salah adalah meminta maaf dan berjanji memperbaikinya, bukan membedakinya dengan pernyataan irrasional yang jauh lebih buruk dari kesalahan itu sendiri.
Berita "termakan fitnah" yang dikaitkan dengan Nabi SAW dalam beberapa buku sejarah harus direspon secara kritis seraya menjadikan prinsip "kesucian" sebagai dasar konsederasi dengan akal sehat agar agama suci ini tak jadi gawang cemooh.