NETRAL DAN PEMIHAKAN PASIF

NETRAL DAN PEMIHAKAN PASIF
Photo by Unsplash.com

Tidak sedikit juga orang tidak ikut sibuk menyikapi sebuah fenomena sosial, isu politik atau kasus besar atau skandal menghebohkan dengan alasan tidak punya kepentingan dengan itu demi menghindar efek negatif yang merugikannya. Dia memilih sikap netral karena menganut pragmatisme (asas kepentingan).

Sebagian orang dengan alasan menghormati privasi dan hak asasi memilih sikap netral terhadap sebuah konflik, sengketa atau persoalan yang dianggal tak bersangkutan dengan dirinya meski cukup mengerti duduk perkaranya, bahkan punya cukup data atau bukti tentang posisi salah satu pihak yang bersengketa. Dia memilih sikap netral karena menerima konsep individualisme.

Ada pula orang tidak melibatkan diri dalam persoalan orang lain yang bersengketa atau berpolemik karena tidak merasa kompeten dan tak merasa punya info yang valid dan bukti yang cukup. Dia memilih sikap karena tak mengerti persoalannya.

Pengertian kata netral itu sendiri adalah netral. Artinya, dalam bingkai aksiologi, netral tak selalu positif dan berguna, juga tak melulu negatif dan berbahaya.

Kezaliman kerap dianggap sebagai persoalan individu semata yang hanya terkait dengan penzalim sebagai pelaku dan terzalimi sebagai korbannya. Padahal kezaliman, meski pelaku dan korbannya adalah sebagian orang, merupakan masalah sosial dan kemanusiaan.

Kerap pula pengertian pelaku dan korban kezaliman dibatasi pada pihak yang secaa langsung bersangkutan dengannya. Artinya, orang lain yang tidak terlibat langsung sebagai pelaku dan korban bisa dianggap pelak, juga bisa menjadi korban secara tidak langsung.

Sikap netral bisa menjadi positif bila tidak cukup bekal pengetahuan sebagai dasar memihak atau menentang. Netral dalam konteks ini adalah posisi temporal. Karena bila telah diperoleh cukup bekal pengetahuan, maka sikap netral mesti berubah menjadi sikap mendukung salah satu dari dua pihak yang bersengketa dan menentang pihak lainnya.

Bila netral dipertahankan sebagai sikap total terhadap apapun tanpa dipilih dan dipilih antara netral yang positif dan netral yang negatif dengan alasan tidak mencampuri urusan orang lain, maka orang lain mengambil sikap serupa. Bila hal itu terjadi, bisa dipastikan tatanan sosial runtuh dan sistem nilai serta peradaban hancur.

Orang yang bertuhan dan beragama, karena meyakini konsekuensi spiritual, moral dan legal dari kezaliman, tak melakukan kezaliman secara sadar. Tapi siapapun, termasuk yang merasa bertuhan dan beragama, menjadi pelaku kezaliman tanpa sadar ketika memilih sikap netral..

Bersikap netral dan tak menentang segala dimensi kezaliman dengan sikap dan tindakan -sesuai kapasitas dan kesempatan yang variatif- adalah kezaliman pasif dan pemihakan pasif kepada pelaku kezaliman. Dengan tak menentang kezaliman, pelaku merasa tak terhalang untuk terus melakukannya. "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hud : 113).

Logika juga etika yang merupakan parameter sublim bagi umat manusia dengan segala perbedaannya mestinya dijadikan dasar pandangan, sikap dan tindakan. Logika menetapkan setiap pikiran sebagai valid dan invalid, dan tidak menyediakan opsi ketiga alias netral.

Read more