PATAH HATI

PATAH HATI
Photo by Unsplash.com

Teman saya selama beberapa tahun bekerja sebagai ahli dalam engineering di Amerika Serikat. Meski mendapatkan posisi yang lumayan di perusahaannya, dia tak pernah sedetikpun merasa nyaman di negeri super maju tersebut karena memang "pendatang", bukan pribumi. Karena itu, dia aktif dalam setiap acara peringatan harii-hari nasional dan perkumpulan komunitas WNI.

Saat berbincang dengan kolega dan rekan-rekan kerja juga saat bergaul dengan

teman-teman multi nasional sesama Muslim di di masjid dan pusat pengajian Islam di Boston, kota tempat dia bekerja, dia kerap membanggakan budaya dan karakter masyarakat di negerinya alias bangsanya yang santun, tulus dan humanis.

Dia sangat mencintai kampung halamannya dan kehidupan sosial teman-teman masa kecil dan remajanya. Dalam setiap tahun dia benar-benar menikmati detik-detik keberadaannya selama libur di Indonesia, tanah kelahiran dan kampung halamannya dan rumah besar baginya.

Kami sempat bertemu dan sempat membicarakan sejumlah isu yang sedamg hangat di media sosial. Sekilas saya melihat dia kali ini tidak seceria pertemuan pada kedatangannya setahun lalu. Dua pekan lalu dia balik ke Amerika setelah masa liburnya berakhir.

Kemarin kami ngobrol by WA. Saking serius dan serunya, tak terasa pembicaraan kami berlangsung hampir 1 jam.

"Baru kali ini saya merasa seolah tak punya negara, tak punya bangsa, bahkan tak punya identitas suku, etnis dan keluarga. Di negeri ini saya adalah pendatang, tapi di negeri yang saya cintai di tengah masyarakat yang saya yakini sebagai sebangsa justru saya dianggap pendatang dan hak saya untuk menjadi bagian dari mereka seolah tak diakui, bahkan hak pribadi saya merasa sebagai anak dan cucu dari orang-orang yang yakini sebagai ayah, kakek dan datuk saya juga dicabut."

'Demi.Tuhan, tak pernah terlintas sama sekali saya dan orang-orang seetnis saya menjadi sasaran kebencian seperti yang terjadi saat ini. Meski saya tahu bahwa yang terjadi di dunia digital tak mencerminkan sikap masyarakat di dunia real, saya sangat sedih laksana patah hati akibat cinta saya kepada negara dan bangsa saya ditolak oleh begitu banyak konten kreator yang serempak mengajak bangsa ini menghukum sekian juta warga negara dari suku keturunan tertentu sebagai pelaku perbudakan, penjual agama, penipu, pengkhianat dan pendukung penjahah bahkan berasal dari keturunan Yahudi. Tragisnya lagi, kampanye dan propaganda masif dan sistematif seolah direstui demi kepentingan politik."

Saya selalu mengkritik banyak orang Indonesia yang lebih bangga menjadi pendatang di Amerika karena bagi saya itu adalah pengkhianatan. Ironisnya, sekarang kebanggaan saya sebagai orang Indonesia yang bisa meniti karir di salah satu perusahaan besar di Amerika laksana klise dan mulai memudar alias tak pede untuk mengaku sebagai orang Indonesia.

Saya hidup di tengah masyarakat plural dan multi etnis yang tak usil dan tak peduli etnisitas dan identitas kita dan dari mana kita berasal. Mereka punya kesadaran merata bahwa kebinekaan adalah aset negara."

Karena curhatannya lumayan panjang dan beberapa suaranya timbul tenggelam akibat koneksi yang tak stabil, saya tak mengingat semua upacannya.

Read more