SENGKETA "KEBENARAN"

SENGKETA "KEBENARAN"
Photo by Unsplash.com

Setiap manusia adalah entitas yang berakal. Sebagian yang berakal adalah manusia yang berpikir. Sebagian yang berpikir adalah manusia yang berpikir dengan sistem pikir (logika dalam pengertian umum) demi menyingkap atau mencapai kebenaran (yang disebut "mengetahui").

Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai di situ saja. Ada banyak teori yang menawarkan parameter kebenaran.

Ketersambungan

Menurut teori ini, pernyataan ditetapkan sebagai benar bila koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Itulah sebabnya, seseorang yang tidak menunjukkan adanya keserasian dan ketersambungan antara pernyataan terbaru dan pernyataannya pada waktu yang lalu dicap sebagai bodoh, ngawur pendusta atau hipokrit.

“Si Imad adalah seorang manusia dan ia pasti akan mati” adalah pernyataan yang pasti benar (tidak mungkin salah) karena koheren dengan pernyataan "Semua manusia akan mati." Contoh lain, "salju itu dingin" ditetapkan sebagai pernyataan benar karena berkoherensi dengan "udara pasti dingin saat salju turun".

Kebenaran koherensi berlaku juga dalam matematika karena beberapa dasar pernyataan yang disepakati sebagai benar alias aksioma.

Plato dan Aristoteles adalah dua Filsuf Yunani yang mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran Euklides dari Aleksandria dalam menyusun geometri.

Dalam filsafat Islam, teori koherensi ini berlaku dalam proposisi logika dan epistemologi.

Kesesuaian

Tolok ukur kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta objektif. Pandangan ini dikenal dengan Teori Korespondensi.

Meski telah manusia cerdas sejak dulu menggunakannya dalam berpikir dan berperilaku, teori ini secara resmi dicetuskan oleh beberapa filsuf Barat, seperti Spinosa, Descartes, Hegel dan Bradley.

Menurut teori ini, pernyataan benar adalah yang kontennya berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan "saat ini udara terasa dingin" dianggap sebagai pernyataan benar karena berkorespondensi fakta musim dingin saat pernyataan itu dibuat.

Pada umumnya filsafat (epistemologi dan ontologi, aksiologi juga teologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) didasarkan pada koherensi.

Kegunaan

Tolok ukur kebenaran adalah kegunaan. Pandangan ini dikenal Teori Inherensi, namun lebih populer dengan sebutan pragmatisme. Pandangan pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) ini dikembangkan oleh William James.

Menurut teori ini, pernyataan yang benar adalah yang berguna secara fungsional dalam kehidupan. Secara umum, pragmatisme meliputi semua kegunaan material dan mental. William James, salah tokoh utama pragmatisme pernah berkata, “Tuhan ada” adalah pernyataan benar bagi seorang yang merasakan manfaat karena percaya adanya Tuhan. Artinya, menurut James, kepercayaan adanya Tuhan meski tidak bisa dibenarkan dengan dasar koherensi dan korespondensi, adalah proposisi yang benar.

Objektivisme Integral

Dalam filsafat Islam, terutama Sadraisme memberikan perhatian besar kepada korespondensi dan koherensi tanpa mengabaikan faktor fungsi dan kegunaan.

Pernyataan yang koresponden dengan fakta pastilah benar, karena kebenaran adalah fakta itu sendiri. Itulah yang disebut dalam terma khas, Nafs al-amr, yang secara bahasa berarti sesuatu pada dirinya. Fakta itulah yang diperluas maknanya dan diganti termanya dengan realitas agar mencakup realitas eksternal dan objektif (yang dalam epistemologi Barat disebut korespondensi) juga realitas mental alias internal alias subjektif (yang dalam epistemologi Barat disebut koherensi). Artinya bila sebuah pernyataan dianggap benar karena koresponden dengan realitas, maka pastilah terkonsepsi dalam rangkaian proposisi yang aksiomatik dan teorematik alias koheren.

Atas asas ini, suatu pernyataan ditetapkan sebagai proposisi benar bila berkorespon dengan realitas. dan tersambung konsepsinya pada aksioma, yaitu nafs al-amr alias fakta itu sendiri. Hanya saja, fakta dalam Sadraisme mencakup realitas dalam pengertian yang luas sekaligus gradual. Karena itu koherensi meliputi realitas eksternal (faktual), realitas mental (konseptual) dan realitas sejati.

Ada kalanya manusia mempersepsi dengan inderanya aneka entitas (sesuatu) seperti rumah, jalan, kucing dan sebagainya. Ini.paling sering dialami manusia, bahkan banyak yang menganggap objek-objek konkret dan terinderakan itulah realitas semata.

Kadang kala manusia mempersepsi dengan akalnya entitas-entitas mental yang tak hadir dalam realitas faktual (objektif) seperti ide-ide yang kita sebut afirmatif, negatif, mayor, minor, universalia, partikularia dan sebagainya yang tak ditemukan dalam realitas faktual dan eksternal namun digunakan dalam ilmu logika. Manusia bahkan bisa mengkonsepsikan "ketiadaan" yang sudah pasti tidak faktual.

Dengan kata lain, pernyataan manusia (yang rasional, tentunya) dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut:

  1. Proposisi faktual (khārijiyah): proposisi yang subjek dan predikatnya memiliki eksistensi luar, seperti dalam proposisi, “bola itu menggelinding” atau “Doni memiliki anjing”. Subjek Doni dan bola memiliki realitas eksternal, begitu juga predikat menggelinding dan anjing.
  2. Proposisi mental (dzihniyah): proposisi yang predikatnya merujuk pada sesuatu yang bersifat mental, namun subjeknya dapat berupa sesuatu yang merujuk kepada mental maupun faktual, seperti proposisi “manusia itu spesies” atau “definisi itu harus mencakup genus dan diferensia”.
  3. Proposisi sejati (haqiqiyah): proposisi yang tidak merujuk realitas mental dan eksternal seperti proposisi, “tidak adanya sebab adalah sebab bagi tidak adanya akibat”. proposisi ini juga merupakan proposisi yang terbentuk dalam ilmu-ilmu yang subjek dan predikatnya lebih umum dari entitas mental dan faktual.

Nafs al-amr menjadi wadah bagi kebenaran proposisi-proposisi di atas. Karena itulah ia memiliki sisi ontologis dengan korespondensi yang menjadi kausa koherensi.

Read more