SUPREMASI PENGETAHUAN

SUPREMASI PENGETAHUAN
Photo by Unsplash.com

Sebagian orang keburu sinis bila tema kompetensi dan otoritas diketengahkan karena keburu menuduhnya sebagai pembatasan hak dan pengekangan kreasivitas atau menuduhnya sebagai dominasi. Padahal kompetensi dan otoritas dalam bidang-bidang pengetahuan bisa diperoleh oleh siapa saja yang mau bekerja keras untuk memperolehnya.

Andai pengetahuan tentang apapun bisa diperoleh oleh setiap orang tanpa belajar (tanpa melakukan serangkaian inteleksi dan mengesampingkan ego, kesenangan dan lain-lain), tentu kompetensi dan otoritas tak diperlukan, bahkan tak perlu sistem, struktur dan hierark bahkan tak perlu agama, juga tak perlu lagi pakar, dokter, ahli hukum dan tak presiden, tak perlu imam dan, masyarakat dan umat.

Andai pengetahuan diperoleh dengan "kehadiran eksistensial" dalam subjek diri setiap person, belajar, ceramah, nasihat, pemberitaan dan komunikasi adalah perbuatan sia-sia, dan pembangunan sekolah, universitas, pesantren juga semua sarana edukasi adalah penghamburan.

Kesadaran akan potensi diri dalam menyerap pengetahuan, potensi mengoptimalkannya, potensi mengimplementasikannya untuk dirinya dan potensi memberikannya kepada yang memerlukan dan layak mendapatkannya adalah karunia kompetensi yang dapat menghindarkannya dari kecerobohan diri dan dari kesalahan yang dapat menjerumuskan selain diri sendiri sekaligus memandunya untuk sadar tanggungjawab (taklif) secara proporsional.

Sadar taklif adalah kesadaran bahwa setiap individu harus mempertanggungjawaban semua tindakan intelektual dan fisikalmya dalam seluruh hidupnya serta edek positif dan negatifnya sesuai besarnya potensi menyerap pengetahuan, menggunakan kesempatan, mengoptimalkan kemampuan dan menyempurnakan dirinya.

Dengan bekal kesadaran ini, ia mengendalikan kehendak irrasional untuk mencari perhatian, pujian atau kepentingan duniawi lainnya (lazim disebut hawa nafsu) yang terus menggelegak dalam dirinya, terutama dalam arena interaksi.

Menjadi penerima atau penyimak atau murid atau awam bukanlah kehinaan. Menjadi narasumber juga bukan kemuliaan. Kehinaan dan kemuliaan ditentukan oleh keihlasan dan kerendahan hati serta komitmen mengamalkan apa yang diketahui.

Contohnya antara lain:
1. Tak menyikapi apapun yang tak jelas faktanya, apalagi bisa mengundang konflik, polemik dan perdebatan yang kontraproduktif.
2. Tak memberikan info yang jelas faktanya namun tak bisa mengukur dan mengantisipasi efek positif dan negatifnya.
3. Tak membahas isu dan tema apapun yang memerlukan kompetensi yang tak dimilkinya atau dimilikinya namun diiketahuinya tak cukup efektif.
4. Tak menilai individu dan kelompok yang tak dikenalnya secara jelas atau yang dikenalnya namun tak berkenan dinilai, apalagi tak menetapkan tolok ukur valid secara saintifik dan rasional.

Read more